Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (3)

Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (3)

Teriakan Gumilang yang lantang memberi perintah kepada pasukannya segera dilakukan pasukannya tanpa pertanyaan dan kekhawatiran. Mereka lekas memenuhi perintah Gumilang dan pergerakan yang tiba-tiba itu memberi kejutan pada lawan yang berada di sekitar mereka. Seorang pasukan berkuda Gumilang yang bertubuh besar melompat dari punggung kuda. Ia menubruk gajah dari sebelah samping, dengan tombak terhunus Ia menikam tepat pada mata gajah yang ditunggangi Mpu Tandri. Gajah itu pun melengking kesakitan yang memekakkan telinga. Sejenak kemudian gajah itu melangkah tak tentu arah dan seringkali melibas pasukan Ki Sentot. Keberhasilan prajurit berkuda yang bernama Wiranta ini disambut dengan sorak sorai bergemuruh pasukan Sumur Welut. Sedangkan Wiranta sendiri terjungkal karena tergores tombak Mpu Tandri. Seorang temannya yang berada di sebelah kudanya segera menaikkan Wiranta ke kuda lalu melarikan Wiranta menuju garis belakang. Gumilang yang kebetulan tidak menyaksikan sendiri itu segera mengerti bahwa seeorang dari pasukan Jala Bhirawa yang dipimpinnya telah berhasil menembus bagian lemah dari gajah. Lalu Gumilang menghela kuda, menyibak barisan dan mendekati pasukannya untuk memberi pesan tentang bagian terlemah dari gajah. Kegelisahan merambati Ken Banawa ketika tahu bahwa  pasukan Mpu Tandri mampu menekan barisan terdepannya. Sedangkan pada barisan itu, Ken Banawa menumpukan harapan bahwa mereka akan mampu menopang Gumilang sebagai belalai. Namun gelisah itu tak mengendap lama dalam hatinya sewaktu terlihat seekor gajah mulai lepas kendali. Ia menarik napas lega yang cukup dalam. “Gumilang akhirnya mengetahui cara melumpuhkan gajah-gajah itu,” gumam Ken Banawa dalam hatinya. Namun di bagian lain, Ki Sentot yang menyaksikan seekor gajah mulai hilang kendali bergumam dalam hatinya, “Agaknya Mpu Tandri kesulitan mendobrak barisan depan Sumur Welut. Rasanya akan ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku rencanakan.” Pasukan Jala Bhirawa kini mulai menjalankan peran sebagai belalai dari susunan Dirada Meta. Gerak laju pasukan gajah pasukan Ki Sentot mulai dapat dihambat. Mpu Tandri segera melompat turun dari gajah sesaat tubuh gajah sedikit terhuyung kemudian roboh. Tombak Mpu Tandri yang runcing pada kedua ujungnya berputar dengan garang. Mpu Tandri bertarung dengan sengit sehingga beberapa prajurit Sumur Welut roboh ketika mencoba membatasi ruang geraknya. Mpu Tandri bertarung dengan kemarahan yang meluap-luap, ia berusaha untuk dapat bertemu dengan senapati yang memimpin pasukan berkuda. Bagi Mpu Tandri, kematian gajah yang ditungganginya adalah sama dengan merendahkan harga dirinya. Ia merasa terhina dan baginya itu adalah aib yang mencoreng mukanya.

Baca Juga :

Mpu Tandri bertempur sangat sengit dan tombaknya berputar-putar menyengat setiap prajurit Sumur Welut yang berada di dekatnya.  Mpu Tandri telah membuka jalan darah untuk memberikan celah bagi pasukan di belakangnya  agar dapat memukul mundur pasukan Sumur Welut yang mencoba menutup celah yang sempat terbuka oleh amuk gajah. Mpu Tandri memutar-mutar tombaknya dan berloncatan lincah kesana kemari seperti seekor rajawali. Badai prahara yang ditimbulkan  Mpu Tandri benar-benar membuat barisan depan Sumur Welut nyaris luluh lantak. Seekor gajah yang roboh ternyata tidak memberikan keuntungan bagi pasukan Sumur Welut karena Mpu Tandri bertarung melebihi seekor gajah. Dan setiap kali tombaknya mematuk selalu dapat merobohkan selingkaran prajurit di sekitarnya. “Orang tua itu harus dihentikan agar pasukan Sumur Welut tidak semakin terdesak mundur,” kata Gumilang dalam hati dan sejurus kemudian kudanya melesat membelah kerumunan para prajurit yang sudah saling berhadapan. “Prajurit di sekitarmu bukanlah orang yang bersalah dan pantas dihukum mati!” seru Gumilang ketika berhadapan dengan Mpu Tandri. Pedang tipis Gumilang terjulur menyentuh tanah. “Persetan! Memang mereka bukan berbuat satu kesalahan. Tetapi ini adalah peperangan. Sebut namamu agar engkau tak menyesal jika harus mati di ujung tombak seorang Mpu Tandri,” kata Mpu Tandri tanpa menghentikan tombaknya yang masih berputar-putar dalam genggaman. “Aku adalah Gumilang Prakoso. Marilah, Mpu Tandri. Kita bertarung hingga akhirnya ada yang mendapat hukuman,” seru Gumilang yang seketika melompat maju menerjang Mpu Tandri. Dengan tangkas Gumilang mencabut belati ketika tubuhnya masih melayang. Tanpa menghentikan putaran tombaknya, Mpu Tandri memapas Gumilang dan dalam sekejap kedua orang ini terlibat dalam pertarungan hidup mati. Gumilang bertempur dengan cermat dan penuh perhitungan. Untuk itulah ia segera mencabut belati yang sewaktu-waktu dapat disusupkan ke celah pertahanan lawan secara tiba-tiba. Mpu Tandri sesaat dikejutkan dengan kemampuan Gumilang dalam bertempur. Sebenarnya Mpu Tandri diliputi rasa kagum, bahwa dalam usia semuda itu Gumilang mampu memimpin pasukan berkuda dan ternyata juga berhasil mendesak pasukan yang dipimpinnya. Sedangkan Gumilang juga tak kalah kagum dengan kelincahan lawannya yang berusia dua kali lipat darinya. Sekilas bayangan belati terlihat menyusup ke lambung Mpu Tandri, namun dengan cepat pula Mpu Tandri berhasil menggeser kedudukan untuk menghindari belati lawannya. Menyadari kemampuan Gumilang yang tidak dapat diremehkan, Mpu Tandri selekasnya menekan Gumilang dengan dahsyat. Putaran tombak Mpu Tandri berayun-ayun sangat deras, menghujani Gumilang dari berbagai penjuru. Kecepatan Mpu Tandri menjadikan dua ujung runcing tombaknya seolah-olah berjumlah puluhan. Dalam beberapa jurus kemudian Gumilang mulai mendapat tekanan yang hebat. Meski begitu Gumilang masih dapat mengimbangi gelombang serangan Mpu Tandri dengan kecepatan yang mengagumkan. Di bagian lain. Tubuh besar dan berotot Ki Cendhala Geni seperti tidak mempunyai bobot. Begitu ringan berlompatan mengimbangi kecepatan Bondan. Rambutnya yang putih dan tidak terikat tampak berkibar-kibar setiap kali dirinya melayang cepat di udara. Kapak yang digenggamnya terus mendengungkan suara yang menggetarkan jantung. Setiap prajurit yang berada di dekatnya segera menjauh terlebih lagi ketika mereka melihat seorang anak muda tegak menghadapi Ki Cendhala Geni. Putaran kapak itu pada mulanya berayun lambat namun angin tenaga begitu kuat dan seolah membentuk dinding yang tak nyata, tetapi keris Bondan mampu menerobos dengan cepat. Maka kapak berputar semakin cepat. Dalam keadaan itu, angin yang berasal dari putaran kapak terasa menyakiti kulit sehingga prajurit yang bertempur di sekitar mereka kian menjauh. Lingkaran pertarungan Ki Cendhala Geni dengan Bondan pun semakin membesar.  Sekali-sekali keris Bondan menyengat memasuki celah putaran kapak. Ketika Bondan bergerak cepat mengurung Ki Cendhala Geni tiba-tiba musuhnya mengubah langkah sehingga berbalik memburu Bondan. Kadang sebaliknya, ketika Ki Cendhala Geni mengitari Bondan maka secara mendadak Bondan menggeliat dengan tata gerak yang aneh lalu mengejar lawannya. Sehingga keduanya terlibat saling mengejar, saling mengitari dan terkadang keduanya harus bertumbukan hingga terdorong ke belakang.

Baca Juga :

“Bersiaplah untuk mati, Bondan. Aku sudah katakan padamu bahwa aku akan menumpasmu dan semua orang yang berada di belakangmu. Aku adalah Ki Cendhala Geni. Aku adalah orang yang akan mencabut nyawa setiap orang dari kalian.” “Ki Cendhala Geni,” sahut Bondan, ”kenapa kau bersusah payah akan menggantikan dewa maut? Sedangkan engkau tahu bahwa aku sendiri yang akan menghisap nyawamu.” “Cobalah menangkapku hidup-hidup!” Bondan bergeser ke samping selangkah dengan tubuh sedikit merunduk. Ikat kepalanya telah terurai dan siap mematuk dada Ki Cendhala Geni. Ketika itu Ki Cendhala Geni bergeser setapak maju dan mempersiapkan diri untuk menyambut terjangan Bondan. Bondan melesat cepat sambil menyentakkan udeng mengarah kening Ki Cendhala Geni dengan kecepatan yang luar biasa. Seiring dengan sentakan itu terdengar bunyi ledakan keluar dari ujung ikat kepala Bondan. Ki Cendhala Geni berlekas menghindar sambil mengayunkan kapaknya pada pangkal lengan Bondan. Serangan itu dielakkan Bondan dengan ayunan kaki yang bergeser dalam susunan yang teratur. Ki Cendhala Geni terus datang dengan gebrakan demi gebrakan yang disertai pengerahan tenaga inti, sehingga putaran kapak semakin cepat dan yang terlihat kemudian adalah tubuhnya terbungkus gulungan cahaya berkilat-kilat! Desir angin yang ditimbulkan putaran kapak membuat kulit terasa pedih merupakan tanda bahwa musuh Bondan tsemakin mendekati lapisan puncak ilmu yang dikuasainya. (bersambung)

Sumber: