Langit Hitam Majapahit – Persiapan (2)

Langit Hitam Majapahit – Persiapan (2)

Di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, Bondan sedang berlatih keras memulihkan diri setelah luka pada pundaknya berangsur sembuh. Tangan kirinya mencoba memutar-mutar ikat kepala yang tadinya terjuntai, lantas mengayun perlahan. Gerakan Bondan cukup bertenaga dan terlihat lambat tetapi semakin lama semakin cepat hingga setiap lecutan udengnya mampu meledak berkali-kali. Bondan juga mengulang gerakan-gerakan dasar sebagaimana yang diajarkan Resi Gajahyana kepadanya. Gerakan yang rumit dan sulit dilakukan pun, perlahan, mulai dilakukan Bondan. Ketika matahari bergerak semakin tinggi, Bondan mencabut keris lalu mengayun ikat kepalanya bersamaan. Dua benda ini menjadi senjata berpasangan yang sama-sama hebat. Keringat membasahi pakaian dan tak lama kemudian Bondan menutup latihan dengan bersila di atas rumput kering. Untuk sejenak ia membeku dengan rongga dada bergerak turun naik dan teratur, kemudian ia melangkah menuju pudukuhan induk untuk bergabung dengan yang lain. Bondan membantu sepenuh hati orang-orang mempersiapkan diri guna menghadapi pertempuran yang belum diketahui waktu dimulainya. ***** Walau jarang bertemu dan bicara dengan Ki Sentot, Ki Cendhala Geni sebenarnya mempunyai banyak pertanyaan tetapi akhirnya dijawabnya sendiri. Pada waktu itu ia hanya dapat mengumpat dirinya sendiri. “Ternyata aku selama ini sangat dungu. Mengapa tak terpikirkan bahwa Mantri Rukmasara mengatur sejumlah pencurian dan perampokan itu sebenarnya digunakan untuk rencana besar ini? Dan ternyata mereka benar-benar melakukannya secara rahasia bahkan aku sendiri tidak tahu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan remeh dari orang bodoh berpangkat lurah prajurit. Pekerjaan yang seharusnya tidak perlu membuatku turun tangan,” maki Ki Cendhala Geni dalam hati sewaktu mengamati kekuatan yang ada di dalam barisan pendukung Jayakatwang. Ki Cendhala Geni mempunyai keyakinan bahwa Sumur Welut akan jatuh di tangan mereka. Dari sekian banyak alasan, adalah pasukan gajah dalam barisan dapat dikatakan sebagai penopang utamanya. Daya hancur seekor gajah jauh melebihi kemampuan seratus prajurit atau dua puluh pasukan berkuda. Pasukan gajah inilah yang melambungkan harapan Ki Cendhala Geni yang bertekad besar merusak bangunan yang telah didirikan Raden Wijaya.

Baca Juga :

Saat matahari sudah mencapai setinggi tombak, sejumlah pasukan di Bulak Banteng melakukan latihan bersama. Di bawah pengawasan Ki Sentot Tohjaya tampak semangat yang tinggi di setiap raut muka prajurit yang mengikuti gelar bersama itu. Ki Sentot Tohjaya merasbahwa ia tidak lagi sendiri seperti belasan tahun silam. Meski demikian, ia pun membayangkan bahwa akan banyak tubuh tak bernyawa tergeletak membujur lintang memenuhi padang.  Kali ini tanpa gentar, Ki Sentot Tohjaya mengangkat wajah, seolah bertanya pada awan tipis yang merangkak di bawah kaki langit, ia bertanya, “Akan berapa lama lagi aku dapat mengulang kejayaan?” Pada malam hari menjelang keberangkatan mereka untuk menduduki Sumur Welut, Ki Sentot mengumpulkan sejumlah senapati yang terpilih untuk membincangkan siasat pertempuran. “Ki Cendhala Geni, aku meminta kesediaanmu mendampingi seorang senapati untuk mengisi sayap bagian kiri. Dan Ubandhana akan mendampingiku memimpin pasukan induk,” kata Ki Sentot Tohjaya pada pertemuan terakhir. “Kehadiran Ki Cendhala Geni sebagai kekuatan baru, tentu tidak diperhitungkan oleh Majapahit. Itu keuntungan  besar bagi kita. Dan aku juga menginginkan kesigapan kalian mengamati barisan di depan kalian. Setiap kemunduran pasukan kita harus segera tergantikan dengan tenaga baru dari kelompok yang berada di belakangnya. Aku harap rencana ini benar-benar terselenggara dengan baik,” kata Ki Sentot di depan sejumlah perwira Majapahit yang membelot. Ketika beberapa orang sudah meninggalkan rumah Ki Sentot, maka Ki Cendhala Geni mendapatkan kesempatan untuk bicara lebih bebas. “Ki Sentot. Nama-nama leluhur Sri Baginda Jayakatwang sudah sepantasnya diagungkan kembali. Perbuatan Ra Dyan Wijaya telah menorehkan luka yang tidak kunjung sembuh. Luka yang tidak meninggalkan wujud, tidak mengalirkan darah namun perlahan menjadi busuk. Hanya api yang dapat menghilangkan daging yang membusuk, hanya api yang dapat mengeringkan luka yang berdarah dan hanya api yang dapat membakar orang-orang berdosa. “Aku adalah api itu sendiri dan aku akan membakar habis pasukan Majapahit sekalipun jumlahnya sehamparan tebasan parang,” kata Ki Cendhala Geni. “Begitukah?” “Begitulah. Selama ini aku merusak ketenangan dan kejayaan Majapahit dengan sebuah alasan, bahwa aku tidak ingin keturunan Sri Rajasa menjadi abadi dalam ketenangan. Sejauh ini langkahku telah berhasil, aku berpikir begitu. Tetapi, entah sebuah kebetulan atau sesuatu yang tidak aku mengerti,  aku memasuki masa sulit pada waktu terakhir.” Raut wajah Ki Cendhala Geni menatap langit rumah. Di dalam hatinya selama itu menyala api kebencian, rasa benci yang cukup hebat hingga setiap kakinya menjejak, di situ ketenangan dan kedamaian terusir. Pandangan hidup, semangat dan harga dirinya telah melebur dalam satu hasrat. Hingga batas tertentu, ia berbekal keyakinan akan sanggup meratakan kotaraja. “Aku mendengar usahamu di Kahuripan, dan itu pekerjaan yang cukup bagus,” kata Ki Sentot,  “namun engkau tidak dapat disalahkan apabila memutuskan untuk membantu lurah prajutrit itu.” Tidak ada nama Patraman  yang disebut oleh pemimpin Bulak Banteng itu, dan mengertilah orang-orang apabila penculikan Arum Sari tidak pernah ada dalam pertimbangan Ki Sentot Tohjaya. Bahkan mungkin ia menganggap peristiwa itu hanya sebuah usaha kecil untuk mengetahui kesigapan prajurit Majapahit. Ki Cendhala Geni yang mengenal wataknya dengan baik, akhirnya hanya dapat memaki nalarnya yang pendek. “Bodoh! Aku terlalu percaya pada siasat Pang Randu tanpa ada jalan lain yang sebenarnya dapat aku pikir sendiri. Tapi tidak ada yang patut disesali karena aku juga tidak terlalu kecewa dengan kegagalan itu. Yang terpenting buatku adalah masih dapat menjaga api dan berpindah kubu demi tujuan akhir. Kahuripan dan Bulak Banteng hanya sekedar jalan yang aku lewati.”

Baca Juga :

“Tetapi aku mengenal sangat baik seseorang yang bernama Ki Cendhala Geni. Ia akan kembali dengan kekuatan dan semangat yang lebih hebat. Ia akan menggapai tujuannya,” berkata Ki Sentot Tohjaya seakan mengerti jalan pikiran Ki Cendhala Geni. “Ya, aku juga mempunyai keyakinan yang sama dengan Ki Sentot,” Dua orang setengah baya ini pun lantas bangkit lalu berjalan menuju dermaga kecil di tepi pantai. Puluhan kapal telah disiapkan untuk membawa pasukan sehamparan tebasan parang dan beberapa ekor gajah. Persiapan akhir terlihat jelas sedang dilakukan oleh Ki Sentot dan pengikutnya. “Besok setelah turun senja, kita berangkat menuju perbukitan Gunungsari. Kapal-kapal kita belokkan ke utara memasuki sungai kecil dan kita tambatkan lebih ke dalam. Kita berkemah di perbukitan Gunungsari,” begitu perintah terakhir Ki Sentot Tohjaya kepada para senapati dan perwira yang mengikutinya. (bersambung)

Sumber: