Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (12-habis)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (12-habis)

Bentakan dahsyat mengawali serangan Gumilang. “Baguslah jika demikian! Dua tikus Majapahit ini pasti akan berbahagia bila mati bersama-sama!” Ki Cendhala Geni menggeram penuh amarah. “Sangat menyenangkan ketika aku dapat membunuh dua pengecut yang mengaku ksatria!” “Tuan! Lihatlah pesisir!” seru Ubandhana sambil menghindari serangan Ken Banawa. Ki Cendhala Geni melayangkan pandang ke arah yang ditunjuk Ubandhana. Ia melihat bahwa pengawal Majapahit berhasil mendesak anak buah Patraman. Kini ia menghitung kemungkinan akhir dari pertempuran kecil ini. Jika prajurit Majapahit berhasil menumpas habis pasukan pendukungnya, kemungkinan besar yang terjadi adalah mereka membagi kelompok guna membantu Ken Banawa dan kedua anak muda yang bertarung melawannya. Meskipun kemampuan Ki Cendhala Geni sangat mumpuni tetapi ia harus memperhatikan akibat buruk jika Ubandhana terbunuh. Ubandhana berpikiran sama dengannya. Tidak ada perintah atau tanda yang diberikan, dalam sekejap,  kedua orang ini serentak menyerbu lawan masing-masing. Ubandhana meningkatkan daya serangnya. Tombaknya berputar-putar meliuk-liuk menghantam setiap bagian pertahanan Ken Banawa. Angin yang tergerak karena tombaknya makin berdesir kencang. Ken Banawa tidak menyangka bahwa angin dari tombak lawannya itu sanggup menyakiti kulitnya. Demikianlah Ken Banawa akhirnya harus mengimbangi serangan demi serangan Ubandhana yang semakin menggila. Lingkaran mereka semakin bergeser mendekati sungai kecil yang berada tak jauh dari rawa-rawa. Ken Banawa tentu akan mencegah tubuhnya terjatuh ke tebing sungai. Oleh karena itu ia mencari celah kelemahan serangan lawannya. Bersamaan dengan itu ketika ia melihat kelemahan Ubandhana, dengan cepat Ken Banawa menjulurkan satu pukulan ke bawah ketiak musuhnya. Ubandhana menyadari ada bagian yang terbuka lalu dengan cepat ia melontar ke samping . Dan secepat anak panah ia meloncat menuruni tebing.

Baca Juga :

Ken Banawa menimbang sesaat ketika Ubandhana melepaskan diri darI ikatan perkelahian. Senapati ini berpikir bahwa mengejar lawannya bukanlah tujuan utama mereka. “Aku harus melepasnya! Yang terpenting adalah mengembalikan keamanan di wilayah,” Ken Banawa berkata pada dirinya. Ia berbalik arah nuntuk melihat keadaan Arum Sari. “Anak setan!” Ki Cendhala Geni mengumpat Ubandhana yang melarikan diri dari pertempuran. Namun kemudian senyumnya mengembang.  Tanpa diduga kedua lawannya, ia menghantamkan kapak berturut-turut ke permukaan tanah. Dalam sekejap tanah berhamburan, melesat ke arah Gumilang dan Bondan. Serangan mendadak ini sangat membahayakan keduanya. Debu dan butiran tanah segera menghambur menutup mata serta wajah, menyapu seluruh bagian depan mereka. Kulit mereka terasa perih seperti ditusuk-tusuk jarum. Bondan dan Gumilang segera melentingkan tubuh satu putaran ke belakang. Ketika dua lawannya menjauh, Ki Cendhala Geni segera melesat meninggalkan rawa-rawa. Bondan melihatnya, ia mengejar Ki Cendhala Geni ke arah sungai. Sekalipun begitu, luka-luka di pundaknya masih mengalirkan darah begitu deras, akhirnya Bondan harus menghentikan langkahnya. Ia hanya melihat lawannya berlari cepat melintasi permukaan sungai menuju tebing sebelah selatan, lalu menghilang di balik rerimbun semak kering. “Sungguh hebat. Siapa lagi yang dapat melakukan hal semacam itu?” gumam Bondan dalam hatinya ketika melihat Ki Cendhala Geni menjejak kaki di atas permukaan air sungai. Di tempat yang berbeda, Ken Banawa segera memerintahkan para pengawal untuk merawat yang terluka meskipun itu dari pihak Laksa Jaya.  Ia juga memerintahkan sebagian pengawal untuk merawat mayat yang terbunuh. Kemudian berjalan mendekati Arum Sari yang masih dicekam perasan tidak menentu. “Arum Sari, keadaan sudah aman bagimu dan segera kami mengantarmu ke Wringin Anom,” kata Ken Banawa perlahan. Dari balik mata yang penuh gelisah, gadis ini tidak langsung memandang Ken Banawa. Suaranya bergetar. “Siapa engkau, Ki Sanak?” bertanya Arum Sari. “Ken Banawa.” Kemudian senapati ini mengeluarkan potongan besi berbentuk lingkaran dengan ukiran prajurit Majapahit. “Engkau mengenali apa yang ditanganku?” ia bertanya sambil menjulurkan benda itu lebih dekat pada Arum Sari. “Ya.” Arum Sari menjawab perlahan lalu memberi tanda bahwa tangannya terikat. Sedikit banyak ia mengenal ciri khusus keprajuritan karena sering melihat prajurit Majapahit melakukan pertemuan di banjar kademangan. “Terima kasih, Ki Banawa. Saya akan sampaikan ini kepada ayah. Dan secara pribadi saya harap ayah sudi mengundang para prajurit terutama Ki Banawa untuk mengucap terima kasih,” kata Arum Sari terisak. Dadanya terasa lapang dan lega karena telah bebas dari cengkeraman serigala dan anjing liar. Seperti itulah ia mengingat Patraman dan Laksa Jaya di kemudian hari. “Ah, sudahlah. Ini adalah kewajiban pengemban keamanan wilayah Majapahit.” Ken Banawa merendah. Tiba-tiba ia merasa jantungnya berada di dalam remasan yang sangat kuat ketika melihat dua lelaki muda melangkah ke arahnya. Tubuh Arum Sari menggigil. Sorot matanya mendadak liar dan menyirakan kengerian yang mencekam! Lisah gadis muda itu mendadak kelu. Ia hanya meratap dan melolong dalam bisu. Ken Banawa melihat perubahan yang sangat cepat terjadi dalam diri Arum Sari. Sejenak ia merenung, memilih kata agar tidak menambah resah yang melanda gadis dari Wringin Anom itu. “Ia adalah Bondan. Ia datang bersama kami.” “Oh,” desah Arum Sari dengan bibir bergetar dan hampir saja terlontar pertanyaan serupa ketika ia melihat seorang lagi dengan busur di punggungnya. Tiba-tiba saja ia memaki dirinya sendiri. “Begitu bodoh! Aku melihat mereka berdua berkelahi untuk membebaskanku tetapi aku berprasangka buruk pada mereka? Sementara paman Banawa kelihatan sangat dihormati oleh dua anak muda itu,” geram Arum Sari pada dirinya sendiri.

Baca Juga :

“Bondan, bagaimana keadaanmu?” Ken Banawa bersuara ketika Bondan duduk berbaur dengannya dan Arum Sari. Setelah menganggukkan kepala pada Arum Sari, saat itu, Bondan tengah merawat luka-lukanya dengan serbuk obat yang dibawanya sendiri. “Sedikit lebih baik, Paman. Darah sudah berhenti dan mungkin satu dua hari ini lukanya akan menutup,” jawab Bondan sambil menahan rasa pedih. Kemudian ia berkata, “Sangat disayangkan! Sejauh ini kita tiba di tempat ini dan keduanya melarikan diri.” Bondan menarik napas panjang sekali, dua kali, lalu suaranya datar terdengar, “Apakah kita akan mengejar mereka?” Ken Banawa tidak segera menjawab, sejenak ia menatap wajah Arum Sari seolah mencari tahu keadaan gadis yang nyaris menjadi korban kebuasan Patraman. Namun ia tidak melihat perubahan pada air muka dan sinar mata gadis itu, lantas Ken Banawa berpaling pada Bondan, lalu kata-nya, “Bagaimana menurutmu jika Ra Caksana dan beberapa pengawal  mengejar mereka?” “Tak mengapa karena dua orang itu tidak akan kembali ke Wringin Anom atau Sumur Welut. Saya raasa seperti itu.” Bondan berdiri sambil mengibaskan tangan pada pakaiannya. “Baiklah. Engkau dapat mengejarnya bersama Ra Caksana. Aku tinggalkan beberapa orang untukmu, sementara dan Gumilang akan menyertaiku untuk mengantarkan Arum Sari ke Wringin Anom. Segera beritahu kami jika kalian mempunyai kabar penting tentang kedua orang itu.” “Baik, Paman. Selamat jalan.” Bondan sedikit membungkukkan badan pada Ken Banawa dan Arum Sari. “Selamat jalan, Ngger.” Ken Banawa beranjak bangkit, lalu membantu Arum Sari untuk membenahi keadaannya. Sejumlah perintah ia sampaikan pada Ra Caksana. Kedua kelompok ini segera berpisah dan sekilas Bondan menatap wajah Arum Sari namun segera memalingkan muka. Ada desir aneh yang merambat hatinya. Mengingatkannya pada satu masa yang telah berlalu. Bagaimana keadaannya saat ini? Angin tidak memberiku berita. Hati Bondan mendesah. Kelompok yang dipimpin Ken Banawa segera bertolak ke Wringin Anom dengan membawa beberapa tawanan dan orang yang terluka. Sedangkan Bondan dan Ra Caksana beserta beberapa prajurit berkuda ke arah selatan menyusuri sungai. “Perjalanan ini akan berat, Arum Sari. Kita membawa banyak orang terluka. Aku harap tidak ada keberatan darimu bila kita menempuhnya dengan berjalan kaki,” kata Ken Banawa perlahan kepada Arum Sari yang berjalan di sampingnya. “Tidak, Paman. Keadaan ini jauh lebih baik meskipun perlahan tetapi kita secara pasti menuju Wringin Anom.” “Semoga demikian. Dan aku harap tidak ada gangguan yang mengejar kita karena aku pikir mereka sudah tidak ada kepentingan dalam hal ini.” “Semoga begitu.” Siang itu matahari bersinar terang namun tak begitu terasa panas. Semilir angin yang berhembus sela-sela beberapa hutan kecil yang mereka lalui cukup memberi rasa damai di hati Arum Sari. Namun tidak demikian bagi para tawanan yang merasa perjalanan ini sangat mencekam. Sebagian tawanan adalah prajurit Majapahit di bawah pimpinan Patraman dan telah membayang di benak mereka mengenai hukuman yang menanti. (bersambung ke bab selanjutnya)

Sumber: