Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (5)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (5)

Patraman menyadari bahwa gadis yang berada di hadapannya itu serta Ubandhana dapat berbuat sesuatu yang di luar harapannya. Maka ia menarik diri dan kembali menginjakkan kaki lekat pada bumi. Aku harus cukup cerdas mengatasi keadaan ini, batinnya. Arum Sari hampir saja melontarkan kata-kata tetapi ia urungkan ketika melihat Patraman bergeser menjauhi tempatnya. “Tetaplah di situ sampai ada perubahan,” terdengar kata-kata dari Patraman. Untuk sejumlah waktu Arum Sari terhempas dalam perasaan yang tidak menentu. Tetapi ia tidak ingin berteriak ataupun menangis. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya sedang lemah saat itu. Dadanya serasa sesak menahan gejolak perasaannya. “Lebih baik aku mati daripada disentuh pengkhianat itu,” gumamnya  dalam hati. Matanya pun segera melihat sekelilingnya mencari sesuatu yang dapat ia gunakan untuk bunuh diri. Namun ia harus takluk ketika menyadari keadaan kedua tangannya terikat kuat. Malam berlalu semakin mencekam rawa-rawa di pesisir pantai, kesunyian kembali melanda sekitar mereka. Setiap orang terlarut dalam kenangan dan gelora masing-masing. Arum Sari sedang menuju jurang gelap yang hampir tidak dapat dilampaui. Sekejap ia meratap penyesalan ketika menolak anjuran ayahnya untuk menyerap olah kanuragan. Ki Demang menginginkan anak tunggalnya itu dapat menjaga diri tetapi Arum Sari menolaknya. Satu alasan yang wajar karena keamanan Wringin Anom benar-benar terjaga. Tetapi siapa mengira jika penjahat itu justru muncul dari kalangan prajurit? Patraman memang biadab! Arum Sari memaki dalam hatinya. Aku tak boleh kalah, ia membatin sambil membuat perkiraan buruk yang dapat menimpa dirinya.

Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Tiba-tiba dalam kegelapan malam itu sebuah bayangan berkelebat cepat mendekati Arum Sari. Ubandhana bergerak cepat mendahului dan menghadang pergerakan bayangan itu. “Jangan bergerak!” bentak Ubandhana. “Menyingkirlah! Aku mengambil bagianku!” seru Patraman. “Engkau belum mengeluarkan sepeserpun! Tidak ada bagianmu di sini!” sahut  Ubandhana. “Pekerjaan ini belum selesai,” kata Patraman gusar. “Ya, karena belum selesai maka engkau jangan bertingkah!” Ubandhana dan Patraman saling bertatap mata dengan tajam. Keduanya seperti pemangsa yang mencium daran dan siap berebut seonggok daging segar. Mereka saling berhadapan dalam diam. Tatapan mata telah sama-sama melekat. Keduanya telah merunduk dan  saling menunggu. Mereka berdua sudah siap untuk saling bunuh. “Tahan, Patraman! Engkau bisa lakukan itu esok hari. Simpan tenagamu, Ubandhana!” seru Laksa Jaya pada dua lelaki muda yang nyaris beradu nyawa.. Ubandhana meloncat surut sekitar tiga atau empat langkah namun sorot matanya belum melepaskan Patraman. Dalam waktu itu, Patraman perlahan meluruskan kedua kakinya, ia juga memandang wajah penculik Arum Sari dengan gusar. Perlahan, ketiganya mengambil jarak dari Arum Sari. Sorak hati Arum Sari mendadak terbungkam. Mulanya ia melihat ada kesempatan untuk melepaskan diri ketika Ubandhana dan Patraman terlibat percekcokan. Tetapi suara Laksa Jaya terdengar seperti tetes air hujan me-nimpa dedaunan. Suasana mendadak dingin dan kesempatan itu hilang! Malam semakin larut, angin laut berhembus semilir membelai setiap benda yang dilaluinya. Ketiga lelaki ini tidak benar-benar beristirahat,  sekalipun mereka memejamkan mata dan bernapas dengan teratur. Ada rasa saling curiga dan khawatir kalah dalam perebutan. Ubandhana menyadari Patraman benar-benar menginginkan Arum Sari, seperti dirinya yang berperasaan sama walau perbedaan mereka sangat tipis. Kebekuan kembali menghampiri tempat itu, hanya Ubandhana yang sesekali bergerak untuk menjaga nyala api unggun. Patraman mengawasinya sambil berpikir mengenai Ubandhana. Mungkinkah ia tertarik pada Arum Sari? Aku dapat melihat itu dari balik matanya. Ini bukan lagi hubungan kerja, tetapi persaingan antar lelaki.
Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Sekilas mereka seperti orang-orang yang hidup dalam kedamaian. Debur ombak, angin berhembus perlahan dan kerlip bintang seperti memberi tanda bagi itu semua. Kedamaian. Tetapi jantung yang tak henti berdetak seolah menghitung mundur untuk sebuah ledakan. Satu gerakan salah dari seorang di antara pemuda itu akan menjadi awal sebuah benturan yang sangat keras. Nyawa dan darah yang mengaliri tanah menjadi kemungkinan yang sulit untuk dihindari. “Apa yang kalian tunggu?” Sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan yang menyelubungi mereka berempat. Sekejap kemudian Laksa Jaya bersuit nyaring. Belasan orang melompat berhamburan keluar dari semak-semak di sekitar mereka. Mereka berlari lalu menempatkan diri pada jarak tertentu, obor kecil menerangi para pengikut Laksa Jaya. Mereka bergerak membentuk lingkaran yang mengitari empat orang yang berada di dekat api unggun. Sebagian kecil berada di dekat Arum Sari. Kedatangan Ki Cendhala Geni sama sekali tidak mereka ketahui. Bahkan mereka tidak menyadari ketika Ki Cendhala Geni melangkah di antara mereka padahal syaraf terlatih mereka juga dalam keadaan waspada. Ini menjadi bukti ketinggian ilmu meringankan tubuh dan memusnahkan bunyi yang luar biasa. Ubandhana, Laksa jaya dan Patraman hanya mampu membuka mulut tanpa kata-kata. “Apakah ini?” Ki Cendhala Geni menatap bergantian Laksa Jaya dan Patraman, “jebakan untukku lalu kalian mengambil hadiah setelah menukar kepalaku?” “Harap memaafkan kami,” Laksa Jaya selangkah maju sambil berkata-kata, “harap tidak salah paham, Kiai. Mereka adalah orang-orang yang akan menyertai kami ke Wringin Anom.” Laksa Jaya mengangkat dua tangannya di depan dada. Ia menambahkan, “Kapal segera tiba dan menepi jika mereka melihat sekumpulan obor ini.” Laksa Jaya mengarahkan telunjuk ke sekelilingnya. “Hebat! Engkau sungguh benar-benar cerdik, Laksa Jaya,” bisik Patraman. “Ini tidak termasuk dalam rencanaku tetapi kau mampu menutupnya.” Tiba-tiba. “Awas!” seru Ki Cendhala Geni pada semua orang sambil memutar kapaknya yang bertangkai panjang. Ia mengedarkan mata menyapu sekelilingnya.
Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Ubandhana mengayunkan tombak memutar, menutup seluruh tubuhnya tanpa mengetahui asal serangan. Ia beruntung ketika sebuah anak panah yang membidik lehernya berhasil digagalkan dengan kibasan tombak. Mata Ki Cendhala Geni menangkap bayangan yang melesat cepat ke arahnya, ia masih memutar-mutar kapak namun sikap tubuhnya telah berubah. Ki Cendhala Geni bersiap untuk menyambutnya. Selarik cahaya yang memantul dari batang pedang menghantam sisi lengkung kapak Ki Cendhala Geni. Tidak ada percakapan yang mendahului perkelahian mereka berdua, meski Ki Cendhala Geni berniat membuka mulutnya tapi ia harus membatalkannya. Serangan yang datang mendadak ini terus menerjang seperti banjir bandang yang merobohkan tanggul sungai kemudian menyapu seisi desa. Tak berhenti pada Ki Cendhala Geni. Di bagian lain, seorang lelaki muda meluncur deras memasuki gelanggang dengan keris terhunus. Dengan tubuh berputar-putar seperti angin beliung datang, ia menghantam lalu membuat porak poranda lingkaran para pengawal Laksa Jaya. Ubandhana yang belum mengenali penyerangnya, tetapi ia menyambutnya dengan tombak terayun kuat. Dentang senjata beradu segera terdengar cukup keras. Tombak Ubandhana tertolak keris Bondan kemudian kaki Bondan menyeruak, menerobos masuk ke dada Ubandhana dengan kecepatan yang sukar diperhitungkan, lengan Ubadhana segera menutup dada yang terbuka. Ubandhana terdorong ke belakang beberapa langkah sekalipun berhasil melindungi dadanya dari kaki Bondan. “Oh, engkau rupanya. Masih hidup ternyata,” desis Ubandhana ketika wajah Bondan sedikit terlihat jelas oleh cahaya obor. “Ya, aku di sini sekarang. Aku harus menuntut balas kematian Ranggawesi dan Ki Lurah Guritna,” sahut Bondan dingin. “Bukankah justru kedatanganmu adalah untuk menyusul kematian mereka berdua?” derai tawa Ubandhana nyaring menghina Bondan. “Keadaannya berbeda, Ki Sanak. Tidak ada yang akan mengusik kesenanganku sekarang ini. Tidak pula begundal buruk yang menjadi temanmu!” Kalimat Bondan ditujukan pada Ki Cendhala Geni yang terikat perkelahian satu lawan satu dengan Ken Banawa. Satu serangan telah disiapkan Bondan, ia kembali menerjang Ubandhana dengan gerakan-gerakan dari ikat kepalanya. Bunyi ledakan berulang menggema dahsyat. Menyakitkan telinga setiap kali suara berdentum memasuki rongga pendengaran. Bondan mengerahkan sebagian besar kekuatannya. Di sebelah kedua lingkar pertarungan terlihat Laksa Jaya dan Patraman terperangah dengan serangan mendadak dari kelompok yang belum dikenal. Dalam waktu sekejap, Ken Banawa mendapatkan sorot cahaya obor dan wajahnya terlihat jelas oleh Laksa Jaya. Kawan dekat Patraman ini sangat terkejut melihat Ken Banawa turun tangan dalam pencarian Arum Sari. Sebelumnya ia telah mendapatkan berita bahwa pengejaran akan dilakukan oleh Pragola, senapati yang berusia sama dengannya. Tetapi kenyataannya pada malam itu yang mendatangi mereka adalah senapati yang disebut para penyamun sebagai bayangan dedemit, Ken Banawa. “Bagaimana terjadinya perubahan ini?” Ia ternganga dengan kehadiran Ken Banawa , tetapi segera disadarkan oleh serangan sangat dahsyat dari Gumilang. Bertubi-tubi anak panah membidik mereka bergantian, Laksa Jaya dan Patraman segera menggerakkan senjata mereka, memutar pedang untuk menangkis hujan anak panah yang dilepaskan Gumilang. Sebelumnya.
Baca juga :
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Pragola berubah pikiran sehari setelah bertemu dengan Pang Randu. Jika pada awalnya ia diperintahkan Pang Randu untuk mengejar kelompok Laksa Jaya lalu menutup jejak penculikan, tetapi di tengah jalan, Pragola beralih pikiran. Ia mempunyai kecenderungan untuk menempuh jalan lain. Satu kesimpulan yang kemudian melahirkan keyakinan kuat dalam hatinya. Pragola membawa puluhan pengikutnya yang setia mengambil jalan menuju utara. Ki Cendhala Geni yang mempunyai julukan Banaspati Gunung Kidul, Ubandhana, Laksa Jaya dan Patraman kini menghadapi serangan nyata dari pengawal setia Majapahit, sekelompok orang yang belum merasa lelah untuk mengejar setiap orang menganggu ketenangan. Di samping itu, para prajurit  Majapahit juga bangga hati karena bertempur bersama Ken Banawa, seorang perwira paripurna yang disegani kawan maupun lawan. Dengan kecepatan seekor elang yang menukik tajam, Bondan me-ngurung lawannya dari setiap penjuru angin. Bondan tampak mulai mampu mengendapkan gejolak hatinya yang sempat meluap ketika melihat Ubandhana, sedangkan  Gumilang Prakoso dengan  gagah mulai menyerang Laksa Jaya dan Patraman.(bersambung)

Sumber: