Tak Terduga, Diterima sebagai Istri Kedua dengan Lapang Dada

Tak Terduga, Diterima sebagai Istri Kedua dengan Lapang Dada

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Suatu saat, bakda Magrib, Ani melantunkan Ar-Rahman. Pembacaan berulang ayat fabiayyi alai rabbikuma tukaththibani mampu mengundang air mata siapa pun yang mendengar. Demikian pula Ningsih (bukan nama sebenarnya), istri sah Wawan, yang kala ini berdiri di teras rumah. Ningsih, madu Ani, datang untuk men-support Ani agar terus menjaga kesehatan. Demi anak yang dikandung. Anak yang bakal menjadi momongan Ningsih dan Wawan juga. Lantunan merdu suara Ani seperti menghipnotis Ningsih. Setelah Ani selesai membacakan Ar-Rahman, Ningsih menghambur masuk rumah. Tangisnya meledak di depan Ani. Dipeluknya perempuan muda dan cantik tersebut. “Engkau adikku, Ani. Adikku. Bukan maduku. Bukan sainganku. Jangan tinggalkan anak ini kelak,” kata Ningsih sambil menunjuk perut Ani. “Jangan tinggalkan kami. Jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan Mas Wawan. Kami semua milikmu. Kita satu keluarga. Engkau cahaya di keluarga ini.” Berkata demikian, Ningsih mempererat pelukan. Mendapat perlakuan yang tiba-tiba seperti itu, Ani sangat terkejut. Walau begitu, dia tidak bisa mengerti dan memahami apa yang terjadi. Ani baru ngeh beberapa waktu kemudian, setelah Ningsih menjelaskannya dengan sabar. Intinya, Ningsih tidak lagi menganggap Ani sebagai istri kontrak suaminya yang hanya akan diambil anak keturunannya. Ani akan dicatatkan secara resmi sebagai istri Wawan di KUA. “Aku rela berbagi,” kata Ningsih diulang-ulang kepada Ani, yang masih dlongap-dlongop dan hanya bisa mendunduk. Demikian pula Wawan. Seperti mendapat durian runtuh direstui Ningsih untuk menikahi Ani secara resmi. Bukan lagi kawin demi mendapatkan anak, tapi lebih dari itu. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan. Kehidupan baru ini dikabarkan Ani kepada keluarga di desa. Meski sempat kecewa dengan Ani yang sempat meninggalkan keluarga tanpa pamit, kini orang tua Ani tidak mempermasalahkannya. Untuk merayakan kebahagiaan, ayah dan ibu Ani bahkan rela bersusah payah menengok anaknya ke Surabaya. Sekalian menjadi wali bagi pernikahan isbat Ani di KUA. “Aku rasanya seperti melayang-layang. Sulit menerima kenyataan membahagiakan ini dengan akal pikiran,” aku Ani. Ani merasakan perubahan yang seolah berbanding terbalik 180 derajat dengan semasa tinggal di kafe. Di sini Ani seperti hidup di dalam penjara. Dia tidak diperkenankan keluar sendirian. Keluar harus bersama-sama dan di bawah pengawasan ketat para preman yang kasar dan kejam. Kini Ani dimanja. Segala kebutuhan selalu dipenuhi. Sikap Wawan sangat baik. Demikian pula Ningsih. Mereka bahkan seperti saudara, yang tidak rela orang lain menyakiti. Ketiganya saling mengasihi dan saling menjaga. (bersambung)  

Sumber: