Si Cantik Pinangki
Saya tak menjudulinya Jaksa Pinangki. Kasihan korpsnya. Saya yakin masih banyak jaksa yang baik. Begitu juga ketika menulis dua jenderal polisi yang jadi tersangka gara-gara Djoko Tjandra, saya hindari menjuduli "dua jenderal polisi". Saya yakin jauh lebih banyak jenderal polisi yang baik. Tapi, sepak terjangnya memang bikin geleng-geleng kepala. Apalagi, media pintar sekali mengambil anglenya. Gajinya berapa, kehidupannya bagaimana. Berkali-kali ke luar negeri, berkali-kali makan di restoran bintang tiga Per Se di negerinya Donald Trump. Perban hidungnya setelah operasi plastik diekspos. Mobil BMW-nya yang kini disita. Duit dari mana? Mengapa jaksa yang tugasnya lebih banyak sebagai administratif itu seperti dipercaya menjadi LO urusan Djoko Tjandra. Buktinya, berkali-kali bertemu di Malaysia. Saya menamainya, mohon maaf pakai Bahasa Jawa Pacitan, jak-jakan. Kalau semasih kanak-kanak dulu kita main di atas kasur, lompat ke sana kemari, itulah jak-jakan. Istilah yang saya anggap cocok untuk menggambarkan betapa aturan yang sudah tertata sedemikian baik ini, diobrak-abrik. Upahnya memang menggiurkan, bisa untuk operasi plastik sebulan sekali, bisa untuk ke luar negeri tiap weekend. Bisa untuk menyervis atasan sesuai kehendaknya. Tapi, yang dibidik memang luar biasa: "fatwa". Yang Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo juga luar biasa jak-jakannya. Bisa menghapus red notice interpol yang menyebabkan "si Joker" --julukan Djoko Tjandra karena selicin dan selicik Joker-- bebas berkeliaran di Indonesia. Bahkan, "penyambutannya" bagai tamu agung, diberi surat jalan dengan jabatan: konsultan. Bahkan, yang bikin geleng-geleng justru menemaninya dalam penerbangan menggunakan jet pribadi ke Pontianak. Mengapa good corporate governance, tata kelola organisasinya, diobrak-abrik seperti ini? Jawabnya: kepencut duit bermiliar-miliar. Bayangkan, kalau tidak ketahuan, kalau tidak terbongkar, mereka bisa membeli apa saja, "surga dunia". Syukurlah, bau busuk itu, akhirnya terbongkar. Bau tak sedap yang juga lagi heboh adalah laporan Tempo edisi terakhir: Orkestra Pendengung. Kakak sepupu Jokowi, Andi Wibowo, disebut memimpin salah satu Medsos yang bertugas menyusun narasi untuk menggaungkan isu agar dapat dukungan publik. Mengapa perlu buzzer dan influencer yang menurut ICW dibiayai dana pemerintah hingga Rp 90 M itu? Menurut Jusman Dalle, Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital, karena lebih efektif dibanding media mainstream yang jauh lebih mahal biayanya. "Uang sudah jadi senjata untuk menggiring dan membentuk opini, memborong pencitraan ketika produk politik yang ditawarkan tidak laku," kata Jusman. Efek lainnya? "Propaganda para pendengung ini berpotensi memecah belah masyarakat. Manipulasi informasi dan penggiringan opininya berakibat buruk bagi kepentingan bangsa," katanya. Sungguh sakit hati kita disuguhi tontonan buruk begini. Merdeka 75 tahun yang baru kita peringati 17 Agustus lalu, mestinya menjadi renungan mengapa negeri ini, disalib oleh negeri jiran Malaysia dan Singapura yang merdekanya jauh lebih muda daripada kita? Malaysia 31 Agustus 1957. Dan Singapura memisahkan diri dari Malaysia dan menjadi negara merdeka pada 9 Agustus 1965. Gara-garanya? Ya, banyaknya uang negara yang dijadikan bancakan. Ketidakjujuran oknum pengelolanya. Semoga jadi pelajaran. Bahwa kebusukan itu akhirnya ketahuan. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)
Sumber: