Pakar Epidemiologi: DBD Penyakit Tropis Terabaikan

Pakar Epidemiologi: DBD Penyakit Tropis Terabaikan

Untuk kasus Covid-19 dan DBD, pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr dr Atik Choirul Hidajah MKes melihat dari ruang lingkup masalah. Covid-19 berstatus pandemi, kosmopolit (red- sebuah bentuk dari spesies yang di mana akan tersebar secara luas hingga menyentuh ke seluruh wilayah yang berada di penjuru dunia), sedangkan DBD adalah outbreak (kenaikan tiba-tiba angka kejadian kasus penyakit lebih dari biasanya). Selain itu, Covid-19 tidak sekedar mematikan tetapi karena karakternya yang human to human transmission (penularan dari manusia ke manusia), maka lebih sulit memutuskan mata rantai penularan dibanding DBD yang ditularkan lewat nyamuk. Sehingga Covid-19 menjadi beban negara. "Dan status pandemi ini menyebabkan konsekuensinya menjadi beban negara untuk ikut berkontribusi dalam menurunkan tingkat penularan, sementara DBD secara global merupakan neglected tropical disease (penyakit tropis terabaikan)," jelas Atik. Dipaparkan Atik bila demam berdarah terjadi ketika seseorang mengalami paparan infeksi virus dengue yang dibawa melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. DBD dapat menyebabkan pembuluh darah mengalami kerusakan dan bocor. “Kerusakan dan kebocoran pada pembuluh darah menyebabkan penurunan kadar trombosit,” lanjut Atik. Sementara, virus corona menginfeksi pernapasan pengidapnya. Berbeda dengan DBD, virus corona mudah menular melalui droplets saat pengidapnya batuk, bersin, atau bahkan berbicara. Hal itu, menunjukkan Covid-19 mudah menular. "Jika dilihat dari fatalitasnya, Covid-19 masih lebih berbahaya, karena tingkat fatalitas kasus secara global berkisar antara 2-4 persen, di Indonesia sekitar 4,7 persen, di Jawa Timur sekitar 8 persen, sementara tingkat fatalitas kasus DBD sekitar 0,98 persen," papar Atik. Menurut Atik penanganan penderita DBD tergantung stadiumnya. Pada stadium dengue shock syndrome (DSS) tentu perlu penanganan intensif, sementara stadium satu cukup rawat jalan. "Secara umum juga belum ada obat spesifik untuk virus DBD, pengobatan selama ini hanya simptomatis dan mencegah tidak terjadi kekurangan cairan tubuh," ujarnya. Dalam situasi tersebut peran serta pemerintah dan masyarakat sangat penting guna antisipasi agar DBD tidak meluas. "Protokol kesehatan untuk DBD selama ini dikenal dengan, 3 M (menguras, menutup, mengubur). Nah 3 M saja masih banyak yang belum melaksanakan, apalagi MCD (masker, cuci tangan, distancing) yang baru dikenalkan untuk Covid-19," papar Atik. Peran bumantik di perkampungan juga dirasa penting. Menurut Antik, bumantik sebebarnya adalah salah satu manifestasi dari pemberdayaan masyarakat (community empowerment) karena terbatasnya tenaga kesehatan (nakes). "Hanya saja memang program bumantik tidak merata, ada daerah yang aktif dan tidak, faktornya banyak tetapi saya kira tergantung komitmen daerah," pungkas Atik. (alf/tyo)

Sumber: