Awas, Serangan DBD di Tengah Covid-19
Saat ini semua terfokus pada penanganan Covid-19, hingga berbagai upaya dilakukan untuk memutus penyebaran virus yang belum ditemukan vaksinnya ini. Bahkan berbagai program diluncurkan, dengan dana yang tidak sedikit. Untuk menjalankan program tersebut, anggaran pemerintah daerah pun dialokasikan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Baik itu untuk kegiatan sosial, sosialisasi, hingga penyediaan sarana dan prasarana penanganan Covid-19. Namun, ada satu lagi virus yang terbaikan, karena tidak sepopuler virus corona. Bahkan di Jatim jumlah kasusnya cukup tinggi, yakni persebaran demam berdarah dengue (DBD). Kepala Dinkes Provinsi Jatim Herlin Ferliana menyampaikan, bahwa kasus DBD merupakan penyakit tahunan yang tidak bisa dihilangkan secara penuh. Berdasarkan data kasus DBD Januari hingga Agustus 2020, sebanyak 6.901 kasus, jumlah kematian sebesar 58 jiwa. "Jadi kasus DBD di Jatim belum bisa kita hilangkan setiap tahunnya. Meskipun diprediksi tahun ini ada penurunan dibandingkan dengan tahun 2019, kasus DBD mencapai 18.397 dan kematian 184 jiwa. Tapi sekarang kita harus hati-hati semoga tidak banyak tahun lalu," kata Herlin kepada Memorandum, Kamis (27/8). Herlin menjelaskan, hampir 38 kabupaten/kota di Jatim didapati kasus DBD. Ada lima daerah yang tertinggi. Di antaranya Kabupaten Malang 1.265 kasus DBD, Kabupaten Jember 801 kasus, Kabupaten Pacitan 546 kasus, Trenggalek 316 kasus, dan Kabupaten Kediri 269. "Jadi sampai Agustus ada lima kabupaten penyandang terbanyak kasus DBD. Namun sampai saat ini belum ada yang daerah yang dikatakan kejadian luar biasa (KLB)," ungkap Herlin. Definisi daerah dinyatakan KLB, menurut Herlin, harus disepakati secara bersamaan. Sesuai Pergub nomer 20 tahun 2020 definisi KLB adalah terjadinya peningkatan jumlah penderita DBD di suatu wilayah dua kali atau lebih dalam kurun waktu satu minggu atau bulan dibandingkan dengan minggu atau bulan sebelumnya atau bulan yang sama pada tahun lalu. "Berarti jika ada kenaikan dua kali lipat kasus DBD di daerah itu bisa disebut KLB. Misalkan, Maret 2019 sebanyak 2.739 kasus, sedangkan Maret 2020 sebanyak 1.501 kasus. Meski terjadi naik turun, namun belum terjadi peningkatan yang segnifikan. Sehingga sampai saat ini belum ada satu daerah dinyatakan status KLB," papar Herlin. Upaya antisipasi agar DBD tidak meluas di kabupaten/kota Jawa Timur, lanjutnya, di antaranya meningkatkan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD dengan penguatan gerakan satu rumah satu jumantik sehingga masyarakat secara mandiri bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan rumahnya dengan memantau jentik seminggu sekali secara rutin dan berkesinambunagan. "Kami imbau kepada masyarakat agar menungkatkan kegaiatan PSN 3 M plus yakni menguras, menutup, menyingkirkan, memberantas larva, dan menghindari gigitan nyamuk, minimal satu minggu sekali secara rutin,” tegas Herlin. Lebih jauh, perbedaan gejala penderita DBD dan Covid-19, lanjut Herlin, gejala penderita DBD yaitu demam 2-7 hari yang timbul mendadak tinggi terus menerus, ada manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena, trombosit kurang 100.000 mm3, serta ada kebocoran plasma. Sedangkan penderita Covid-19 mempunyai gejala bersifat ringan dan muncul secara bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan merasa tetap sehat, juga gejala demam, rasa lelah, batuk kering, rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis,sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman san pembauan, atau ruam kulit, nyeri dada, dan sesak (pneumonia). Selain memperhatikan wabah DBD, menurut Herlin, Dinkes Provinsi Jatim juga berperang melawan virus corona yang mendunia, salah satunya di Jawa Timur. Ia mengaku, berperang melawan Covid-19 selama enam bulan terakhir sangat menyita semuanya. Berdasarkan data kasus Covid-19 di Jatim hingga 26 Agustus 2020. Jumlah kasus positif sebanyak 31.329 orang, sembuh sebanyak 24.649 orang atau 78,6 persen. "Tapi yang meninggal juga banyak sebesar 2.252 jiwa atau 7,2 persen. Tapi yang menyebabkan meninggal bukan hanya Covid-19, namun DBD juga menyebabkan kematian. Intinya pandemi Covid-19 kita perangi, begitu juga wabah DBD wajib kita perangi," ucap Herlin. Bagaimana anggaran penanganan DBD Di Jatim, menurutnya, anggaran perencanaan sudah direncanakan sejak awal karena penyakit DBD terjadi tiap tahun dan setiap tahunnya untuk anggaran DBD di Jatim sebesar Rp 200.000.000. Tapi fungsi Dinkes Jatim di dalam penanganan DBD tidak sendiri, namun dibantu masyarakat. Misalkan kegaiatan PSN tidak mengeluarkan biaya banyak, dan pembuatan promosi melalui liflat-liflat tidak juga perlu biaya besar. "Karena penanganan DBD ini kita sudah mempunyai konsep, sehingga tidak mengeluarkan biaya terlalu besar. Misalkan kegiatan gerakan 3 M plus dengan penguatan satu rumah satu jumantik, sehingga tidak perlu biaya besar. Sudah bisa terukur dan bisa kita efisienkan. Kalau yang bersangkutan sakit itu sudah ada dana peserta BPJS bisa diklaimkan. Sedangkan untuk anggaran penanganan Covid-19 itu kewenangan satuan gugus tugas," pungkas Herlin.(why/tyo)
Sumber: