Jadi Rebutan Juragan Ikan, Lebih Memilih Guru SMA
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Begitu lulus SMA, Sukeng langsung dinikahkan dengan Kang Wisnu. Pesta kali ini digelar jauh lebih meriah ketimbang tasyakuran dulu. Istri pertama dan kedua ikut duduk di pelaminan. Saru tapi seru! Sejak itu kehidupan Sukeng berubah 180 derajat. Dia bahkan diperlakukan bak permaisuri. Ini sempat menimbulkan iri dengki istri-istri Kang Wisnu yang lain. Walau begitu, mereka tidak berani semena-mena menunjukkan sikap. Sayang, sebelum janji menguliahkan Sukeng terwujud, Kang Wisnu terburu meninggal. Dia terkena serangan jatung ketika sedang memberi nafkah batin Sukeng. Tubuhnya terkulai lemas di atas tubuh istri terbarunya tersebut. Wal hasil Sukeng hanya bisa menikmati kehidupan rumah tangga dalam hitungan bulan. Kini dia bagai terjepit di antara dua bukit yang seolah ambruk ke arahnya. Istri-istri Kang Wisnu terdahulu kini tidak segan-segan lagi memperlakukan Sukeng secara kasar. Yang mengerikan, kedua wanita itu juga terang-terangan berebut harta warisan bak tidak ada hukum waris. “Sukeng yang belum lama menjadi keluarga Kang Wisnu tidak berani ikut campur. Dia kembali ke rumah orang tuanya dan melanjutkan ngamen bersama saudara-saudara sepupunya,” kata pengacara Sukeng. Sukeng kembali ke habitatnya menghibur masyarakat melalui grup musik dan suara merduanya. Tentu, juga goyangan-goyangannya. Status janda kembang menjadikan namanya melambung tak terbedung. Semakin banyak job mengalir. Juragan-juragan kapal dan juragan pengolahan ikan bahkan seolah berebut menggantikan posisi Kang Wisnu. Jadwal pentas Sukeng berderet padat lebih dari enam bulan. “Banyak juragan yang mencoba melamar Sukeng, tapi tidak ada satu pun yang diterima. Sukeng lebih tertarik kepada seorang guru SMA yang terlihat alim dan sederhana,” kata pengacara yang pernah menggeluti dunia jurnalistik ini. Guru itu, sebut saja Matrukan, masih jomblo dan dikenal juga sebagai ustaz. Dia sering menjadi imam dan memberikan tausiyah di masjid sebelah kanan rumah Sukeng. Kenyataan lain, Sukeng sebenarnya sudah lama naksir Matrukan, tapi tidak berani mengungkapkan. Dia takut dianggap melanggar norma-norma ketimuran, walau di daerahnya sudah biasa keluarga perempuan melamar pihak pria. “Di masjid sebelah rumah Sukeng, Matrukan juga mengajar ngaji. Sukeng sering saling lirik setiap bertemu. Dan, Sukeng yakin ketertarikannya kepada Matrukan tidak bertepuk sebelah tangan,” ujar pengacara asal Madura ini. Setelah tak kuat memendam rasa, akhirnya Sukeng memberanikan diri minta tolong saudara sepupunya yang biasa nabuh kendang untuk menyampaikan isi hatinya kepada Matrukan. Seperti tumbu oleh tutup, ternyata keyakinan Sukeng bahwa Matrukan menyimpan rasa kepadanya terbukti benar. Matrukan menyatakan bersedia menjadi suami Sukeng asalkan Sukeng tak lagi bernyanyi keliling. (bersambung)
Sumber: