Mencari Keadilan Substantif di Mahkamah Konstitusi Demi Lahirnya Pemimpin Legal, Legitimate, dan Legitimasi
Abdul Aziz--
Oleh: Abdul Aziz
Juru Bicara Tim Pemenangan dan Kuasa Hukum Cagub dan Cawagub Jatim Ibu Risma dan Gus Hans di Mahkamah Konstitusi (MK). Founder dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW.
Prinsip utama penyelenggaraan Pilkada adalah jujur dan adil. Jujur artinya, setiap elemen mulai dari KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, partai politik dan kontestan yang berlaga serta para pemilih, harus bersikap jujur sesuai dengan perintah hukum Pilkada yang berlaku. Mengapa semua pihak harus jujur dan adil? Agar menghasilkan pemimpin yang sesuai ketentuan hukum (legal), sah, masuk akal atau absah (legitimate), dan diterima, mendapat pengakuan masyarakat (legitimasi).
Sedangkan adil bermakna, setiap kontestan, partai politik, dan pemilih harus mendapatkan perlakuan yang sama dan bebas dari adanya kecurangan. Khususnya, kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif alias TSM. Jika KPU dan Bawaslu tak mampu memastikan Pilkada yang jujur dan adil serta jauh dari aroma kecurangan, sudah barang tentu akan disoal oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kecurangan dalam pesta demokrasi Pilkada disebut pula dengan manipulasi Pilkada. Di dalamnya terdapat kecurangan pemilih atau suara, melibatkan campur tangan aparat dan aparatur sipil negara (ASN) dalam proses Pilkada, baik dengan meningkatkan perolehan suara kandidat yang diunggulkan maupun menekan perolehan suara kandidat lawan politik.
KPU dan Bawaslu, dalam hal ini memimpin langsung serta bertanggungjawab agar kejujuran dan keadilan dimaksud bisa berjalan dengan baik dan benar. Terlebih, menghindarkan dari praktik kecurangan yang kerap terjadi agar tujuan menghasilkan pemimpin yang berintegritas tidak sekadar mimpi. Melainkan, menjadi kenyataan senyata-nyatanya. Asli, tulus, dan apa adanya.
Siapakah kontestan yang berintegritas itu? Adalah mereka yang memiliki keselarasan dan konsistensi antara gagasan segar-kebaruan yang diusung, ucapan yang menjadi janji dan komitmen politik yang terlontar ke publik, sikap sebagai turunan keberpihakan pada publik, serta kebijakan dalam menyejahterakan dan memajukan masyarakat.
Bagaimana jika pagelaran suatu Pilkada diduga terjadi yang namanya ketidakjujuran dan ketidakadilan yang bermuara pada dugaan kecurangan yang bersifat TSM sehingga Pilkada tercederai dan mencabik konstitusi? Tentu, hal ini menjadi domain Mahkamah Konstitusi. Bagaimana pula jika ada pihak yang mengatakan bahwa MK fokus pada selisih suara? Biarkan saja. Tim Hukum Risma-Gus Hans percaya dan yakin, MK akan tampil sebagai Mahkamah Konstitusi. Bukan Mahkamah Kalkulasi.
Terbaru, pasangan Cagub dan Cawagub Jatim Nomor Urut 03, telah resmi mendaftarkan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Gubernur Jawa Timur Tahun 2024 di MK dengan registrasi perkara Nomor: 265/PHPU.GUB-XXIII/2025. Ibu Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) memiliki hak konstitusional dan memenuhi syarat. untuk melayangkan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 157 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016.
Kapan gugatan Ibu Risma dan Gus Hans disidangkan? Sesuai pemberitahuan dari MK pada Tim Kuasa Hukum, sidang pendahuluan telah digelar pada Rabu, 08 Januari 2025 Pukul 08:00 WIB di ruang sidang gedung MK lantai 4, seperti tertuang dalam panggilan sidang, Nomor: 1/Sid.Pend/PHPU.GUB/PAN.MK/01/2025, tertanggal 06 Januari 2025. Adapun hakim panel yang akan menyidangkan adalah Panel II, yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arsul Sani, dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Sidang selanjutnya, mendengarkan jawaban termohon (KPU Jatim), keterangan pihak terkait (Khofifah-Emil), dan Bawaslu.
Para penasihat hukum Ibu Risma dan Gus Hans yang akan hadir dalam sidang pendahuluan dengan agenda pembacaan pokok permohonan, antara lain Ronny Talapessy, Tri Wiyono Susilo, Alvon Kurnia Palma, Fuad Abdullah, Abdul Aziz, Harli Muin, Abdur Rohman, dan Hariyanto. Paslon 03 optimistis, MK akan mempertimbangkan substansi gugatan yang tidak terpaku pada perselisihan hasil suara seperti dimaksud Pasal 158 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016. Sebaliknya, gugatan menyajikan sebuah fakta dan realitas Pilkada, yang diduga dijalankan dengan tidak jujur dan tidak adil sehingga terjadi kecurangan yang memenuhi kualifikasi TSM.
Apabila melihat rekam jejak MK dalam memutus sengketa Pilkada di Indonesia, MK memiliki tafsir tersendiri terhadap Pasal 158 dengan prinsip, pemohon dapat mendalilkan sekaligus meyakinkan akan terjadinya kecurangan yang TSM dengan bukti-bukti yang paralel antara posita dan petitum secara komprehensif. Mengapa demikian? Karena secara hukum, seseorang yang mencari keadilan tidak bisa dibatasi oleh Undang-Undang sekalipun. Perintah konstitusi, bukan menegakkan keadilan normatif. Melainkan, keadilan yang substantif.
Benarkah MK hanya berwenang mengadili PHPU sesuai ketentuan Undang-Undang Pilkada dan tidak memiliki kewenangan mengadili kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada? Buka sejarah persidangan sengketa Pilkada dan Pilpres di MK tahun 2010 dan 2019. Pada tahun 2010, karena terbukti melakukan kecurangan yang TSM, MK mendiskualifikasi pemenang Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Konfirmasinya, MK tidak sekadar berwenang mengadili sengketa selisih hasil penghitungan suara tetapi juga menyangkut sengketa proses. Artinya, MK berkepentingan akan terwujudnya Pilkada yang jujur dan adil. Dari sini jelas, MK pernah mengusut dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif alias TSM di luar ketentuan Undang-Undang Pilkada.
Selain MK pernah mengusut kecurangan yang bersifat TSM pada sengketa Pilkada dan terbukti, segar dalam ingatan, MK juga pernah menyoal dugaan kecurangan yang TSM pada sengketa Pilpres tahun 2019. Walaupun tidak terbukti, bukan berarti MK tidak berwenang menangani pelanggaran TSM yang nyata-nyata di luar ketentuan Undang-Undang Pemilu.
Sumber: