Overclaim vs Instant Beauty: Strategi Cantik Berlimpah Cuan di Balik Bisnis Kosmetik yang Menyesatkan

Overclaim vs Instant Beauty: Strategi Cantik Berlimpah Cuan di Balik Bisnis Kosmetik yang Menyesatkan

Founder dan CEO top Legal Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M. --

Oleh: Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M.  

CEO & Founder TOP Legal

Industri kosmetik terus berkembang pesat, didorong oleh meningkatnya perhatian konsumen terhadap penampilan dan perawatan diri.

Untuk menarik perhatian di pasar yang kompetitif, banyak perusahaan kosmetik menjanjikan hasil instan, seperti "kulit putih dalam tiga hari" atau "menghilangkan keriput dalam semalam.

" Klaim-klaim ini sering kali memikat konsumen yang menginginkan hasil cepat dan mudah. Tren ini dikenal dengan sebutan Instant Beauty.

BACA JUGA:Love and Responsibility: Tanggung Jawab Hukum Menafkahi Keluarga bagi Generasi Sandwich

Namun, di balik janji-janji manis tersebut, terdapat praktik berbahaya yang disebut overclaim hal ini berupa klaim berlebihan yang tidak didukung oleh bukti ilmiah.

Meskipun strategi ini dapat mendongkrak penjualan, risiko hukumnya sangat besar. Pelaku usaha yang terlibat dalam overclaim tidak hanya mengecewakan konsumen, tetapi juga berhadapan dengan ancaman sanksi pidana dan administratif yang serius.

Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai perbedaan overclaim dan instant beauty, bagaimana hukum di Indonesia melindungi konsumen dari praktik tersebut, serta risiko yang dihadapi pelaku usaha yang terlibat dalam praktik ini.

BACA JUGA:Killing Me Softly: Urgensi Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan Psikis dalam Pacaran

Apa Itu Overclaim? Penipuan di Balik Janji Kosmetik

Overclaim adalah praktik di mana pelaku usaha membuat klaim berlebihan tentang produk tanpa dasar ilmiah yang akurat. Klaim seperti "memutihkan kulit dalam tiga hari" atau "menghilangkan jerawat dalam semalam" sering kali tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Iklan atau label produk yang mengandung overclaim ini cenderung memberikan hasil yang tidak realistis dan menyesatkan konsumen.

Menurut Pasal 8 ayat (1) huruf f UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan klaim yang dinyatakan dalam label, iklan, atau promosi.

Artinya, setiap klaim harus dapat dibuktikan dengan hasil uji ilmiah yang kredibel. Pelanggaran ini dikategorikan sebagai iklan menyesatkan dan dapat diproses secara hukum jika konsumen merasa dirugikan.

Sumber: