FPPIP Kabupaten Jember Gelar Refleksi Hari Lahir Pancasila, Antara Cita-cita dan Kenyataan
Ketua FPPI Kabupaten Jember Prof. Dr. Bambang Soepeno, M.Pd., mendampingi narasumber Drs. Andang Subaharianto, M.Hum (Rektor Untag Banyuwangi), --
Para pemimpin terkesan saling menyandera. Di zaman edan, kata Ranggawarsita, seseorang takut miskin dan kelaparan bila tak “ngedan”. Kini pun sama. “Ngedan” lalu menjadi paham (mazhab) yang bersifat ideologis. Diikuti dan dipraktikkan oleh orang banyak dalam kehidupan bernegara, menantang Pancasila.
Seperti halnya terungkap berbagai kasus ada Juliari Batubara (mantan Menteri Sosial), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), Imam Nahrawi (mantan Menpora), Edhy Prabowo (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan), Johnny Gerard Plate (mantan Menkominfo).
Korupsi menteri tentu saja melibatkan para pihak, baik dari pejabat pemerintah maupun swasta. Terkesan ada persekongkolan jahat untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan sendiri. Di lembaga kehakiman dan kejaksaan pun demikian, tak bersih dari korupsi. Menyasar pula sejumlah hakim dan jaksa. Setali tiga uang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Data di KPK sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah ini terbanyak ketiga, di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta dan pejabat eselon I-IV. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan peningkatan jumlah kasus korupsi di Indonesia tiga tahun terakhir.
BACA JUGA:Saresehan Peringatan HUT ke-77 RI, FPPIP Jember Bedah Tantangan Besar Bangsa
Tahun 2021 tercatat 533 kasus, dengan 1.173 tersangka. Meningkat pada 2022, sebanyak 579 kasus, dengan 1.396 tersangka. Pada 2023 meningkat lagi menjadi 791 kasus, dengan 1.695 tersangka. Sungguh mengerikan sekaligus memprihatinkan. Korupsi telah menjerat lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Lalu, di luar korupsi, di kepolisian ada perwira tinggi polisi membunuh anak buahnya (kasus Ferdy Sambo). Ada pula perwira tinggi tersangkut narkotika (kasus Teddy Minahasa). Teramat banyak kasus moralitas mendera elite lembaga negara, penyelenggara negara (pemimpin pemerintahan).
Para pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai dasar negara bukanlah tiba-tiba. Pilihan tersebut menyejarah yang melintasi tiga fase, yakni pembuahan, perumusan, dan pengesahan. Bung Karno menyebutnya “digali dari bumi Indonesia”. Dari rentang sejarah kolonialisme-imperialisme bumi Nusantara dengan segenap penderitaan rakyatnya.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
”Alinea itu tidak sampai 100 kata, tapi dengan jelas memperlihatkan tujuan bernegara, falsafah hidup dan pandangan dunia bangsa Indonesia. Dinyatakan dengan tegas pula lima nilai dasar bernegara, yang oleh Bung Karno saat pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan) disebut Pancasila. "Jlentreh Andang.
Dengan demikian, Pancasila merupakan acuan sistem dan moral bernegara. Konstitusi dan segenap turunannya serta perilaku lembaga dan pemimpin negara haruslah dalam kerangka lima nilai dasar itu. Maka, saya mengamini Yudi Latif (2020), sosialisasi Pancasila tidak cukup hanya pada dimensi mentalitas-moralitas.
Harus pula memasuki dimensi kelembagaan sosial-politik dan kesejahteraan. Ketiga dimensi tersebut bisa dilihat dari perspektif penyelenggara negara (pemimpin pemerintahan) dan rakyat pada umumnya. Dari sudut penyelenggara negara, Pancasila merupakan paradigma bagi proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan politik melalui mekanisme dan lembaga sosial-politik, yang berujung pada kesejahteraan rakyat.
Luarannya berupa regulasi, kebijakan, program, dan perilaku (penyelenggara) negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dari sisi rakyat, Pancasila dapat difungsikan sebagai ideologi kritik. Rakyat menggunakan Pancasila sebagai kerangka evaluasi (kritik) terhadap kebijakan dan keputusan politik. Juga melalui mekanisme dan lembaga sosial-politik yang tersedia.
Sumber: