SURABAYA, MEMORANDUM - Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Ni Made Sukartini SE MSi MIDEC memberikan tanggapan terhadap isu kenaikan pajak hiburan yang saat ini ramai diperbincangkan. Sebab, pemerintah menaikkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan yang semula 25 persen menjadi 40-75 persen. Aturan tersebut sontak menuai sorotan publik dan kritik dari para pelaku usaha di bidang rekreasi hiburan umum (RHU).
Ketetapan kenaikan pajak itu tertuang dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Aturan tersebut menyebutkan bahwa tarif PBJT paling tinggi sebesar 10 persen. Namun, tidak berlaku bagi PBJT jasa hiburan seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa atau mandi uap.
Informasi yang dihimpun Memorandum, akibat kenaikan pajak hiburan itu sejumlah RHU berbondong-bondong menaikan harga minuman dan sejumlah menu lainnya. Misalnya sebuah diskotik di pusat kota Surabaya ini, minuman sejenis pitcher yang semua Rp 300 ribu, kini naik menjadi Rp 450 ribu. Tentu dampaknya juga pada omzet dan adanya keluhan dari pengunjung atau pelanggan.
Made menerangkan bahwa kenaikan pajak secara progresif untuk jasa hiburan dapat dimaklumi. Hal itu karena pembayaran pajak, baik pajak langsung maupun tidak langsung selalu berdampak pada kebocoran ekonomi (leakage). Oleh sebab itu, setiap individu, rumah tangga, dan perusahaan akan memandang pajak sebagai beban atau biaya.
BACA JUGA:Pemkot Kediri Bebaskan Pajak Hiburan, Restoran, Hotel, dan Parkir
“Konsumsi jasa hiburan, khususnya hiburan diskotik, karaoke, bar, dll bukan bagian dari kebutuhan dasar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan bukan pula aktivitas yang produktif. Oleh karena itu, tarif pajak yang progresif pada aktivitas hiburan ini masih dapat diterima,” terangnya pada Rabu 17 Januari 2024.
Made mengatakan pajak hiburan merupakan salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya tingkat kabupaten/kota. Hal itu sesuai dengan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009. Tingginya PAD suatu daerah tidak hanya mencerminkan kemandirian fiskal, tetapi juga mencerminkan perkembangan aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
Menurutnya, pemungutan pajak baik itu oleh pusat maupun daerah bertujuan untuk meningkatkan sumber-sumber penerimaan pemerintah. Dalam konteks kenaikan tarif pajak hiburan, khususnya hiburan diskotik, karaoke, bar, dll penerimaan pajak ini akan meningkatkan PAD. PAD merupakan salah satu sumber dana pembiayaan pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia di daerah yang bersangkutan.
“Oleh karena itu, peningkatan tarif pajak hiburan jenis ini akan berdampak positif bagi penerimaan PAD. Selain itu, kenaikan ini akan berdampak pada pembiayaan pembangunan daerah serta sebagai sarana redistribusi kesejahteraan dari kelompok better off ke kelompok worse off,” papar ketua prodi Magister Ekonomi Kesehatan itu.
BACA JUGA:Permudah Bayar Pajak Kendaraan, Kakorlantas Polri Siapkan Terobosan Baru
Lebih lanjut, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) itu menyampaikan konsumsi jasa hiburan seperti diskotik, karaoke, bar, dll adalah jenis usaha yang unik. Dari sisi permintaan, tidak semua anggota masyarakat mampu mengonsumsi jasa hiburan ini. Jika pun mampu, mereka akan melakukannya pada waktu-waktu tertentu. Dengan kata lain, orang yang menikmati jasa hiburan ini sudah mempertimbangkan konsekuensinya yakni harganya yang mahal. Jadi, mereka harus rela berkorban untuk membayar lebih mahal.
Sedangkan dari sisi penawaran, proses produksi layanan jasa ini tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Mereka justru membutuhkan jasa spesifik yang seringkali lebih berfokus pada penampilan, bukan skills khusus atau investasi pendidikan. Kemudian, keberadaan tempat usaha hiburan ini seringkali membuat rasa tidak nyaman bagi warga sekitar karena cukup membuat kebisingan. Untuk membatasi cepatnya pertumbuhan jasa hiburan ini, maka penaikan pajak hiburan ini secara normatif lebih dapat diterima.
“Apakah kenaikan pajak ini sampai membekukan usaha hiburan di tanah air? Saya rasa tidak. Selama masih ada permintaan dari kelompok-kelompok yang mampu membayar dan menikmati hiburan ini, maka peluang tumbuhnya usaha ini tetap ada,” tegas dosen pengampu mata kuliah Teori Ekonomi Mikro itu.
Made menekankan bahwa secara pribadi ia menyetujui aturan tersebut. Menurutnya, menikmati hiburan di diskotik, karaoke, bar, dll termasuk konsumsi jasa luxurious bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, mengonsumsi jasa tersebut tidak menimbulkan aktivitas ekonomi yang produktif, tidak berkontribusi banyak pada penyerapan angkatan kerja, dan tidak juga menimbulkan nilai tambah bagi mata rantai aktivitas ekonomi di sekitar.
“Misalnya, dalam hal menyerap produksi bahan makanan lokal. Makanan yang ada di tempat hiburan ini sering kali hasil impor, bukan makanan yang hasil produksi masyarakat sekitar tempat hiburan tersebut,” paparnya.(alf)