BOJONEGORO, MEMORANDUM-Satu di antara tim yang berperan dalam garda depan keselamatan di Lapangan Banyu Urip adalah Tim Regu Penyelamat atau lazim pula dikenal sebagai Rescue Team. Mereka selalu siaga penuh, agar semua bisa selamat.
Menjadi anggota regu penyelamat di ladang minyak Lapangan Banyu Urip bagi Harto, 37 tahun, tidaklah mudah. Pemuda Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro ini bekerja di Lapangan Banyu Urip mulai dari bawah.
Saat Lapangan Banyu Urip yang dioperatori oleh ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) memulai produksi awal pada 2009, Harto mendaftar sebagai petugas keamanan. Lalu ketika pembangunan fasilitas produksi Lapangan Banyu Urip selesai di tahun 2015, dia beralih menjadi supir. Dia menekuni profesinya dengan penuh kesungguhan. Menjalankan semua prosedur dengan ketat dan terus belajar dari budaya kerja yang baik.
BACA JUGA:Target Tak Tercapai, Komisi C Minta Dishub Surabaya Aktifkan Titik Parkir Baru
BACA JUGA:Unggah Dukungan untuk Megawati, Instagram Komedian Ernest Banjir Like dan Komentar
Sedari awal bergabung, budaya keselamatan Lapangan Banyu Urip adalah hal yang baru baginya dan tidak mengherankan bila inilah paling ia minati. Menurutnya, banyak hal yang selama ini menjadi kebiasaan tidak baik harus diperbaiki. Hal-hal tersebut dia pelajari dengan teliti.
Berkat kedisiplinan, etos kerja, dan dedikasinya kepada aspek keselamatan, Harto dilirik oleh tim Keselamatan (Safety, Health, and Environment) EMCL. Hingga akhirnya dia lolos seleksi dan memulai pekerjaan sebagai anggota tim Pemadaman dan Penyelamatan.
Sejak itulah dia mulai gigih mempelajari berbagai hal tentang tim regu penyelamat. Kini dia telah menjadi salah satu anggota andalan tim tersebut. Berbagai keahlian telah dikuasainya, lengkap dengan sertifikasi tingkat nasional dan internasional.
Mendapat pekerjaan yang istimewa tidak lantas membuat Harto besar kepala. Ia menganggap semua yang diraihnya atas kehendak Tuhan. Dia terus berusaha dan belajar dari setiap kejadian sehari-sehari.
“Bagi saya, setiap hari adalah pelajaran. Kalau kita belajar, kita akan naik kelas. Kalau kita malas, tidak akan naik kelas. Bahkan mungkin melas akhirnya,” tutur Harto.
Mental pembelajar dan pikiran terbuka itulah kunci keberhasilannya. Belajar dari teori dan belajar dari pengalaman bergaul dengan sesama profesional. Jejaring Harto di lingkup profesi tim penyelamat sudah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri.
“Ketika bertemu orang baru dalam sebuah pelatihan, saya jadikan mereka teman dan mentor,” katanya.
Harto sudah belasan kali ikut pelatihan. Setidaknya 7 sertifikasi keahlian khusus sudah dimilikinya.
Dua di antaranya bertaraf internasional. Bisa dia gunakan di negara manapun. Bahkan bisa melatih orang-orang yang persiapan sebelum sertifikası.
“Tapi bukan sertifikası yang saya banggakan. Saya hanya bisa bahagia, bangga, dan bisa senyum kalau semua orang di sini selamat, pulang tanpa cedera, bisa kumpul keluarga tanpa kurang apapun.”