Penghuni Mati Separuh, Pendoso Jemput di Depan Rumah
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Tiba-tiba HP Memorandum bergetar. Ada telepon masuk. Sebuah deretan nomor tertampang di layar. Artinya, peneleponnya orang baru yang namanya belum tercatat di dalam memori. “Alooo… ha,” sapa suara di HP itu.
“Ya, hallo. Ini siapa?” balas Memorandum.
“Sombong koen, Yul. Gak kenal suaraku tah? Kebacut rek, konco plek dilalekno. Wise ling, durung?”
“Maaf, siapa ya?”
Seperti tidak mendengar pertanyaan Memorandum, suara tadi langsung nerocos. Dia bercerita bahwa pencariannya selama ini sudah berakhir. Yang dia cari-cari sudah ditemukan.
“Ternyata tempatnya tidak jauh, Yul. Di belakang langgar tempat kita sering main-main waktu kecil dulu. Ingat?”
Jujur Memorandum bingung. Siapa orang yang menelepon ini dan apa maksudnya? “Belum ingat? Waduh, koen wis nglalekno aku temen tah? Kebacut Yul… Yul…” Sambungn terputus. Sepuluh menit Memorandum menunggu, tidak ada sambungan lagi. Ya sudah. Lagian dari nomor telepon yang tidak dikenal.
Memorandum sudah melupakan percakapan tadi, ketika tiga hari kemudian nomor tadi muncul lagi. ”Piye? Wis eling aku tah?Nek uwis, age-age mreneo. Aku wis dadi wong sakti. Opa ae sing kok jaluk mesti isok tak wujudno. Mreneo...”
Sambungan terputus lagi. Memorandum tunggu beberapa saat, nomor tadi tidak berupaya menghubungi lagi. Tapi tidak seperti pada panggilan pertama beberapa hari sebelumnya, kali ini Memorandum penasaran. Siapa sih orang ini? Dan apa tujuannya menelepon Memorandum?
Rasanya tidak mungkin kebetulan. Dia menelepon dua kali. Bahkan dengan yakin menyebut nama Memorandum. Pasti dari seseorang yang Memorandum kenal. Tapi siapa? Kenal di mana?
Yang Memorandum ingat, pada saat pertama menelepon, dia sempat menyebut sebagai teman masa kecil dan suka bermain-main di langgar. Memorandum pun mencoba memutar kenangan di masa kecil.
Beberapa nama muncul: Hayong, Nursiam, Udin, Untung. Itu yang melekat. Masih banyak nama teman masa kecil, tapi hanya nama-nama itulah yang paling melekat.
Bersama mereka, Memorandum pernah membuat gempar kampung. Waktu itu ada warga yang sakit. Nama aslinya lupa, yang jelas panggilannya Songek. Dia pemilik warung sembako terbesar di kampung kami di Kota Mojokerto.
Orangnya pelit. Super pelit. Kami sering mengambil dagangannya yang ditata rapi di bedak depan rumah. Biasanya yang kami ambil sambil pura-pura berjalan adalah gula merah. Gula tersebut lantas kami jadikan mut-mutan seperti permen saat mandi di Kali Bokong belakang langgar.
Songek sakit parah. Orang-orang bilang mati separuh. Kami sering berdiskusi: dasar pelit, mati saja separuh-separuh. Mengapa tidak blek-sek mati seutuhnya. Dasar Songek, daokeh super pelit!
Kesakithatian kami lalu kami wujudkan dengan ngerjain Songek dan keluarganya. Suatu Kamis malam sekitar pukul 23.00, diam-diam kami keluarkan pendoso dari tempatnya di sudut belakang langgar.
Pendoso tadi pelan-pelan kami dorong sampai di depan rumah Songek dan kami tinggalkan di sana. Paginya seisi kampung geger. Isunya: ada pendoso berjalan sendiri menjemput Songek berangkat ke kuburan. (bersambung)