Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Tepat 22 Mei 2019, tepatnya empat hari lagi, bakal menjadi hari bersejarah bagi negara ini. Hari itu Komite Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pasangan yang akan menjadi presiden dan wakil presiden ke-8 RI. Hasil pemilihan umum serentak yang dilaksanakan 17 April lalu.
Seperti diketahui sebelumnya, ada dua pasangan yang kini ditunggu khalayak umum. Mereka adalah pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Satu di antara mereka akan ditetapkan sebagai pemenang kontestasi.
Menunggu hari itu tiba, dinamika politik di negara ini terasa terus memanas. Tak sesejuk seperti yang diharapkan banyak orang. Sebab, pendukung kedua pasangan sering melakukan manuver-manuver yang memicu keresahan rakyat.
Kubu 02 melambungkan gagasan people power. Di sisi lain, kubu 01 minta rakyat tidak mempedulikannya, bahkan mendukung aparat keamanan mengusutnya dengan menilai itu sebagai tindakan makar.
Satu kubu menyerang kubu lain. Satu kubu menyatakan menang, kubu lain juga demikian. Terkesan, kedua kubu pasangan saling tidak menghormati.
Puncaknya terjadi ketika calon presiden Prabowo Subianto menyatakan dengan tegas menolak hasil pemilihan umum. Lebih tegas lagi, calon presiden yang diusung koalisi Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya dengan jargon koalisi adil makmur tidak akan mengakui hasil pemilihan umum itu.
Pernyataan ini langsung direaksi kubu lain. Mereka menilai pernyataan Prabowo Subianto mencederai demokrasi. Artinya, sikap Prabowo mereka anggap tidak pantas dilakukan.
Suhu politik makin memanas. Apalagi setelah muncul keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Badan yang mengawasi pelaksanaan pemilihan umum ini menyatakan KPU melakukan pelanggaran adminitrasi.
Terbukti pada beberapa komentar yang mencuat menegaskan, keputusan bawaslu itu sama halnya KPU berlaku tidak adil dan melakukan kecurangan. Persis seperti yang dituduhkan kubu pasangan Prabowo-Sandiaga.
Namun, pernyataan-pernyataan semacam itu dianggap salah oleh kubu lain. Mereka mengatakan pemilihan umum sudah selesai, berjalan lancar dan aman dengan bukti pasca pemilihan umum negara kita ini aman-aman saja. Tidak terjadi gejolak rakyat yang menunjukkan perpecahan di akar rumput.
KPU pun terkesan tidak peduli keputusan bawaslu. Buktinya, KPU tetap pada pendirian akan terus melanjutkan tahapan pemilihan umum sampai pada titik akhir tugasnya.
Nah, jika penolakan Prabowo Subianto tidak dipedulikan, tentu pemilihan presiden Indonesia kali ini akan menjadi pertanyaan besar. Termasuk bagi di dunia internasional.
Lalu jika 54 persen rakyat Indonesia yang diklaim Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pemilihnya hingga meraih kemenangan merasa tidak puas dengan keputusan KPU, apa mereka berani turun ke jalan sebagai bentuk protes?
Lantas jika itu terjadi, apakah aparat keamanan benar-benar bertindak tegas? Tak terbayangkan bagaimana nasib negara kita ini ke depan. Tak bisa membayangkan apakah negara ini benar-benar menjadi negara demokrasi. (*)