Gelar Muktamar dan Penyempurnaan Konstitusi PBNU: Sebuah Solusi Alternatif

Senin 22-12-2025,22:16 WIB
Reporter : Ariful Huda
Editor : Ferry Ardi Setiawan

Oleh: Abd. Aziz

Advokat, Legal Consultant, Mediator Non-Hakim, Lecture, Columnist Media Nasional. Kini, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)

 

Malam itu, langit Cikini tampak mendung. Awan begitu tebal. Gerimis pun membasahi bumi. Bersama Sekjen GMPK Bakri K Manda, memecah malam. Di ujung telepon, Kepala Biro Pengembangan Usaha GMPK Mochamad Sinal berkabar hendak bergabung. 

Suasana Ibu Kota kian larut. Kendaraan melaju dengan kecepatan 70 km/jam. Menuju Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah di kawasan Kota Jakarta Selatan. Di beberapa titik, jalanan padat merayap. Bahkan, sesekali roda empat tak bergerak karena macet.


Mini Kidi--

Ceritanya, pasca satu purnama berjanji untuk silaturrahim, akhirnya bisa sowan pada Kiai Said Aqiel Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2010-2015 dan 2015-2020) pada Kamis 18 Desember 2025 malam.

Saat tiba di kediaman, Buya Said--biasa penulis sapa--sedang mulang ngaji, (mengajar) kitab kuning di Auditorium Pesantren. Tak sedikit tamu yang menunggu sambil menyimak di area Al-Tsaqafah. Tergambar, suasana Pesantren yang tenang.

Jarum jam menunjukkan Pukul 22.30 WIB. Ngaji sorogan pun usai, dan Buya Said bergegas keluar ruangan. Tokoh yang dikenal moderat ini, menemui para tamu yang berjejer. Mempersilakan menuju ruang tamu. Penulis diminta duduk di sebelahnya.

Sosok yang belakangan mengusulkan agar konsesi tambang untuk Nahdlatul Ulama (NU) dikembalikan ini, sederhana dan bersahaja. Tiap tamu disapa dan ditanya keperluannya masing-masing. Ada yang hendak mengundang, minta nasihat memajukan NU, dan bertanya soal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang trending topik di layar kaca dan jagat maya.

Beberapa saat kemudian, Buya mengambil satu buah pisang. Disigar (dibelah) dan separuhnya diberikan pada penulis. Tentu, kejutan kehormatan ini mengkonfirmasi, bahwa seorang Buya Said yang memiliki nama besar di NU, tetap rendah hati dan bijaksana (wise). Dalam perspektif Tasawuf, hendak memberikan pesan tentang moralitas, spiritualitas, dan hubungan sosial dalam Islam. Secara elaboratif, Buya Said juga punya perhatian serius pada kepemimpinan, yang menempatkan kaum muda sebagai aset bangsa yang tidak boleh diremehkan.

Sedangkan dalam kajian filsafat dan tradisi budaya Nusantara, makna pisang disigar (dibelah dua), merujuk pada simbolisme kesetiaan, kemakmuran dan harapan akan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari (sustainability).

Singkatnya, mengandung pesan kesetiaan, kebaikan dan manfaat menyeluruh (komprehensif), kesinambungan hidup dan regenerasi, kesederhanaan dan egaliter. Buya yang tidak diragukan tentang keahlian dalam bidang Tasawuf, bermaksud mengajak talenta-talenta muda untuk bersiap melanjutkan kepemimpinan yang berkemajuan (progresif).

Lalu, apa sesungguhnya perbincangan hangat nan mencerahkan di malam itu? Tak lain, apa yang dewasa ini tengah diperbincangkan publik di seantero dunia, hiruk pikuk di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 

Menurutnya, sebelum melangkah pada hal-hal yang bersifat serius: bergerak ke tujuan yang lebih besar, pertama dan utama yang harus dituntaskan adalah bangunan paradigma persatuan. Pola pikir bersatu, mutlak dilakukan. "Bersatu, dululah," tegasnya. Lebih jauh, Buya menekankan pentingnya bersatu dalam pemikiran dan tindakan.

Kategori :