Gelar Muktamar dan Penyempurnaan Konstitusi PBNU: Sebuah Solusi Alternatif

Senin 22-12-2025,22:16 WIB
Reporter : Ariful Huda
Editor : Ferry Ardi Setiawan

Kemudian, Buya juga terbuka akan saran dan masukan konstruktif yang coba mengurai, bagaimana Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (AD/ART NU) yang membentangkan "celah konflik" sehingga situasi dan kondisi hari ini, kepemimpinan PBNU menjadi topik utama yang tak berkesudahan.

Misalnya, saat penulis didapuk sebagai narasumber dalam webinar bertajuk "Pencopotan Ketua Umum PBNU dalam Perspektif Hukum" yang digelar Said Aqiel Siradj (SAS) Center pada Sabtu 13 Desember 2025 malam. Berbicara seputar Pasal-Pasal "krusial" dalam konstitusi NU, yang membuka ruang terbuka akan potensialnya konflik, seperti yang terjadi saat ini. 

Penulis mencontohkan, Anggaran Rumah Tangga BAB XXI Tentang Permusyawaratan Tingkat Nasional Pasal 74 ayat (1) Muktamar Luar Biasa "dapat" diselenggarakan apabila Rais 'Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan pelanggaran berat terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Pada ayat (2) Muktamar Luar Biasa "dapat" diselenggarakan atas usulan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) plus satu dari jumlah Wilayah dan Cabang. Kata "dapat" dikualifikasi sebagai istilah normatif atau modalitas hukum, selain "boleh", "harus", dan "wajib".

Dalam perspektif hukum, kata "boleh dan dapat" mengindikasikan kebolehan atau pilihan (fakultatif/diskrosioner). Subjek hukum diberikan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sanksi jika tidak dilakukan.

Sedangkan kata "harus dan wajib" mengindikasikan kewajiban mutlak atau perintah (imperatif). Pelanggaran terhadapnya berakibat sanksi hukum yang tegas. Jadi, jelas sudah, bahwa Muktamar Luar Biasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 74 Aanggaran Rumah Tangga ayat (1) dan ayat (2) di atas, boleh dilaksanakan atau boleh tidak dilaksanakan. 

Inilah, yang oleh penulis sebut sebagai "celah hukum" atas silang sengkarut di tubuh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Oleh karena itu, pada forum Webinar yang dihadiri Kiai Said Aqiel Siradj (Jakarta), Kiai Marzuki Mustamar (Malang), Gus Lukman Haris Dimyati (Tremas), para Kiai dan advokat serta aktivis Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK), penulis merekomendasikan untuk melakukan penyempurnaan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga pada Muktamar ke-35 mendatang agar Anggaran Rumah Tangga Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Apa hal pertama yang disempurnakan? Terkait istilah normatif atau modalitas hukum kata "dapat" diganti menjadi "harus atau wajib" sehingga pelaksanaan Muktamar Luar Biasa yang menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran berat Rais 'Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar, harus dilaksanakan sebelum mengambil keputusan pemberhentian jabatan Rais Aam atau Ketua Umum.

Normatif kata "harus atau wajib" dalam norma Pasal Muktamar Luar Biasa, ruang tafsirnya menjadi tunggal, mengikat dan mengunci. Dengan demikian, dalam kepengurusan PBNU, tak ada potensi "tafsir menafsir" ayat konstitusi yang ada dalam AD/ART. 

Selanjutnya, harus ditambah Pasal-Pasal yang jelas menyebutkan, apa yang dimaksud dengan pelanggaran berat, siapa pihak yang diberikan wewenang untuk melakukan proses klarifikasi atau tabayyun, "penyelidikan" (minimal 2 alat bukti yang sah dan meyakinkan) terhadap Rais 'Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar yang diduga melakukan penggaran berat terhadap AD/ART, dan siapa pula pihak yang dilekatkan kewenangan untuk melakukan proses "penyidikan" dan menetapkan "tersangka" sekaligus mengadili (vonis) sehingga pemberhentian terhadap salah satu pejabat PBNU sebelum habis masa jabatanya dikualifikasi sah secara konstitusi NU.

Selain itu, pihak yang diberikan kewenangan melakukan proses "penyelidikan dan penyidikan" tidak boleh menyertakan terduga melakukan pelanggaran berat. Harus independen (tidak memihak salah satu pihak) dan imparsial (tidak dapat dipengaruhi oleh salah satu pihak).

Hal ini penting agar tidak terjadi konflik kepentingan (conflic of interest) dan pengambilan  keputusannya berdasarkan Qonun Asasi (Al-Qaanunil Asaasy) yang menjadi konstitusi pertama dalam hierarki peraturan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang sandarkan pada nilai-nilai moral, etika, dan spiritual: Ketuhanan yang Maha Esa.

Itulah pokok pikiran penulis pasca membaca, mempelajari, dan memahami secara utuh ayat-ayat konstitusi yang menjadi landasan Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) dalam menjalankan visi keumatan dan misi kebangsaan dalam ikhtiar menyangga Republik Indonesia.

Walaupun pikiran ini ter-kualifikasi non mainstream (di luar kebanyakan), itulah problem mendasar yang penulis lihat, mengapa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kini gonjang-ganjing, yang oleh sebagian kalangan disebut tak lagi "Kramat" walaupun Kantor PBNU beralamat di Jalan Kramat Raya. Catatan kritis ini, penulis kembali sampaikan pada Buya Said saat berbincang di Al-Tsaqafah, Pesantren yang dibesut untuk melahirkan alumni yang berilmu dan berakhlak.

Nah, pertanyaan besarnya, untuk alternatif solusi kepemimpinan di PBNU dan demi usainya perdebatan, khususnya di kalangan Nahdliyyin akar rumput, apakah tepat melaksanakan Muktamar Luar Biasa? Siapa pelaksananya? Mengingat, mekanisme dalam AD/ART belum diatur secara rigid dan terperinci. Bahwa, sudah tiga kali terjadi pertemuan Kiai sepuh di Ploso, Tebuireng, dan Lirboyo, patut dihormati rekomendasinya.

Namun, karena NU adalah Perkumpulan yang memiliki konstitusi resmi dan tercatat di Kementerian Hukum, suka tidak suka, harus bersandar ke sana agar tidak timbul masalah baru. Hal ini penting untuk dipertimbangkan secara matang. Plus dan minusnya juga dihitung.  

Hemat penulis, PBNU melakukan percepatan Muktamar. Dalam kondisi tertentu, Muktamar bisa dilaksanakan. Tinggal, struktural yang ada di PBNU menyiapkan segala sesuatunya secara terencana, terukur, dan terprediksi.

Kategori :