Penutupan lokalisasi di berbagai daerah dulu dianggap kemenangan moral.
Banyak yang merasa praktik prostitusi akhirnya tuntas dibereskan, tapi nyatanya yang hilang hanya bangunannya.
Banyak warga merasa prostitusi telah berkurang begitu lokalisasi fisik ditutup.
Mini Kidi--
Padahal prostitusi digital jauh lebih cair dan lebih sulit dipantau, bahkan lebih dekat dengan pemerasan, eksploitasi anak, perdagangan orang, serta kekerasan berbasis siber.
Kita terlalu fokus pada tempat, padahal masalah utamanya adalah jaringan dan ekosistem yang mendukung praktik tersebut.
Aktivitasnya sendiri bermigrasi dengan gesit ke ruang digital, lebih tersembunyi, lebih terorganisasi, dan jauh lebih sulit dijangkau.
BACA JUGA:Membangun Karakter Siswa atau Sekadar Menciptakan Ketakutan
Kita tidak sedang menghapus praktiknya, kita hanya memindahkannya ke tempat yang tak memiliki pintu untuk digedor aparat.
Dulu, di lokalisasi, pemerintah masih bisa memetakan pelaku, memantau kesehatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Setelah semuanya pindah ke internet, prostitusi bekerja layaknya startup gelap.
BACA JUGA:Rotasi Pejabat Jadi Ujian Nyata Transformasi Birokrasi Daerah
Transaksi berlangsung cepat, identitas dapat dipalsukan, dan lokasi berpindah dalam hitungan menit.
Bagi aparat, ini bukan lagi soal menutup lokalisasi fisik, melainkan berkejaran dengan algoritma dan teknologi yang terus berkembang.
Yang paling mengkhawatirkan dari prostitusi digital adalah meluasnya eksploitasi terhadap remaja.
Banyak yang terjerumus melalui ajakan kerja freelance, jual konten premium, atau rayuan hubungan daring.
BACA JUGA:Bank Sampah dan Ilusi Hijau, Sudahkah Kita Jujur Mengelola Limbah