Abaikan Fakta Persidangan dan Bukti Sangat Lemah, Pratu RA Divonis Pecat dari TNI

Kamis 18-09-2025,09:55 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Sidang kasus tuduhan perzinahan yang menyeret Pratu RA digelar dengan penuh kejanggalan. Sidang yang seharusnya agenda pembacaan Duplik, ternyata langsung diteruskan dengan pembacaan putusan pada Selasa (17/9/2025).

Hasilnya pun bisa ditebak, putusan yang tergesa-gesa itu dinilai tak memenuhi rasa keadilan. 

Dua agenda sidang yang digelar sekaligus itu kembali menimbulkan tanda tanya besar bagi publik. Terkesan menunjukan, putusan sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, dengan tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. 

BACA JUGA:Tuntutan Pidana Pratu RA Dianggap Rapuh, Tim Pengacara Kumdam V/Brawijaya Minta Hakim Bebaskan Terdakwa

Dugaan itu semakin kuat ketika Ketua Majelis Hakim Kolonel Laut H. Amriandie SH., MH., memvonis Pratu RA dengan hukuman 8 bulan penjara, dengan tambahan 20 hari dan sanksi pemecatan dari TNI AD. Meski lebih ringan satu bulan dari tuntutan Oditur Militer, namun vonis itu dinilai tak berdasarkan rasa keadilan. 

 

Kuasa hukum terdakwa Pratu RA, Letda Chk Fery Junaidi Wijaya SH., MH., mengaku kecewa atas putusan tersebut. "Saya sangat kecewa terhadap putusan tersebut karena hakim ternyata mengabaikan fakta persidangan, seperti keterangan terdakwa dipersidangan tidak dipakai sebagai alat bukti. Menurut Majelis Hakim keterangan terdakwa bertolak belakang dengan alat bukti yang lain," ujar Fery pada awak media, Rabu (17/9/2025) malam. 

 

Anehnya lagi, keterangan Pratu RA di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tertanggal 14 Maret 2025 yang sudah dicabut di muka persidangan, malah dianggap oleh hakim sebagai fakta hukum. Padahal, jika BAP dicabut oleh terdakwa seharusnya sidang digelar hanya berdasarkan fakta-fakta di persidangan. 

 

Pencabutan BAP dilakukan terdakwa, menurut Fery, karena dalam prosesnya diduga kuat terjadi intimidasi hingga penganiayaan. Bahkan foto terdakwa dengan wajah dan mata lebam akibat pukulan itu juga sudah diserahkan sebagai alat bukti. Namun lagi-lagi apa yang diajukan terdakwa dalam persidangan tidak pernah digubris oleh majelis hakim. 

 

"Terkait dengan penganiayaan menurut majelis hakim dianggap bukan pro justicia karena dilakukan diluar proses hukum harusnya terdakwa melaporkan adanya tindak pidana penganiayaan tersebut di Polisi Militer. Itu pendapat hakim dan kami kecewa," jelas Fery. 

 

Begitu juga barang bukti tulisan dalam secarik kertas, yang sudah dibantah oleh Ahli Grafologi, dengan menyatakan bahwa tulisan itu tidak identik sama sekali dengan tulisan tangan Dewi Wulandari juga diabaikan oleh majelis hakim. Sehingga, sidang di Pengadilan Militer III-12 Surabaya yang berlangsung beberapa pekan ini menunjukan seolah-olah terdakwa tidak punya hak sama sekali untuk melakukan pembelaan. 

Kategori :