SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) DPRD Surabaya, Ajeng Wira Wati, menyoroti adanya disparitas signifikan antara data kemiskinan administratif yang dilaporkan dengan realita kondisi ekonomi masyarakat di lapangan.
BACA JUGA:Rapat Paripurna DPRD Surabaya Tetapkan Pembentukan Pansus untuk Bahas Tiga Raperda Inisiatif
Hal tersebut diungkapkan Ajeng dalam rapat Pansus DPRD Surabaya yang membahas sinkronisasi data kesejahteraan warga Kota Pahlawan bersama Dinas Sosial.
--
Dalam forum tersebut, Ajeng yang merupakan anggota Komisi D DPRD Surabaya tersebut menyampaikan keprihatinannya atas masih banyaknya warga miskin di Kota Pahlawan yang belum teridentifikasi secara akurat. Permasalahan ini disinyalir disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, proses survei yang berjalan lambat, serta perbedaan antara domisili dengan alamat yang tertera di KTP.
Lebih lanjut, Ajeng menyoroti klaim pemerintah terkait angka kemiskinan ekstrem di Surabaya yang disebut telah mencapai nol persen. Menurutnya, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya, di mana masih terdapat kasus-kasus warga miskin yang luput dari bantuan sosial yang seharusnya mereka terima.
BACA JUGA:Tanggulangi Banjir, DPRD Surabaya Bentuk Pansus
"Contohnya, orang disabilitas yang tinggal sendiri bisa saja masuk kategori sejahtera berdasarkan data, padahal kondisi riilnya jelas-jelas tidak sesuai," tegas Ajeng, Kamis 10 April 2025.
Oleh karena itu, ia mendesak Dinas Sosial dan pihak kelurahan untuk melakukan verifikasi ulang secara menyeluruh terhadap data kemiskinan yang sudah ada. Langkah ini dianggap krusial untuk memastikan bahwa bantuan sosial dapat tepat sasaran dan menjangkau seluruh masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
BACA JUGA:Pansus DPRD Soroti Pembangunan GSG Ambengan Batu
Kritik juga dilayangkan Ajeng terhadap standar perhitungan kemiskinan yang mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut standar tersebut, seseorang dengan pendapatan Rp 742 ribu per kapita per bulan masih dikategorikan tidak miskin. Ajeng menilai bahwa ambang batas ini tidak relevan dengan kondisi biaya hidup di Surabaya yang tergolong tinggi.
"Padahal di Surabaya, kebutuhan hidup sangat tinggi. Bahkan, dengan penghasilan Rp1,5 juta pun masih bisa dikatakan miskin," tandas politisi dari Fraksi Gerindra tersebut.
Dalam upaya perbaikan data kemiskinan, Ajeng menekankan pentingnya sinkronisasi data yang solid antara tingkat RT, RW, kelurahan, hingga Dinas Sosial. Ia mendorong agar sistem pendataan tidak hanya mengandalkan metode sampling dari pusat, melainkan juga melibatkan data by name by address (BNBA) yang lebih komprehensif dan akurat.
"Jangan puas hanya karena disebut nol persen kemiskinan ekstrem. Kita harus pastikan angka itu benar-benar mencerminkan kondisi riil masyarakat Surabaya," ujarnya dengan nada tegas.
BACA JUGA:Bisa Rugikan Rakyat, Pansus LKPj Kritik Gejolak Bank UMKM Jatim
Selain menyoroti masalah kemiskinan secara umum, Ajeng juga menyinggung isu putus sekolah di kalangan siswa. Ia mencatat bahwa fenomena ini tidak hanya disebabkan oleh rendahnya motivasi belajar, tetapi juga akibat kurangnya intervensi pendidikan yang tepat sasaran bagi keluarga kurang mampu.
Ajeng Wira Wati yang juga Ketua Fraksi Gerindra menekankan bahwa peran keluarga dan lingkungan sekitar juga memiliki andil besar dalam upaya memutus rantai kemiskinan. (alf)