Killing Me Softly: Urgensi Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan Psikis dalam Pacaran

Minggu 06-10-2024,20:54 WIB
Reporter : Anis Tiana Pottag, S.H., M.H.,
Editor : Eko Yudiono

Dia mulai mengalami depresi berat, tidak bisa tidur, kehilangan nafsu makan, dan merasa bahwa satu-satunya jalan keluar dari penderitaan ini adalah mengakhiri hidupnya.

BACA JUGA:I Love the Way You Lie: Analisis Hukum di Balik Kebohongan dan Manipulasi dalam Toxic Relationship

Kasus seperti yang dialami Risma adalah contoh nyata dari kekerasan psikis dalam pacaran yang sering kali tidak disadari oleh orang-orang di sekitar korban. Meskipun tidak ada luka fisik yang tampak, korban merasakan tekanan mental yang sangat besar, yang membuat mereka merasa tidak berdaya dan terjebak.

Dasar Hukum untuk Menjerat Pelaku Kekerasan Psikis:

Dalam kasus seperti yang dialami Risma, ada beberapa dasar hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan psikis meskipun kekerasan dalam pacaran belum diatur secara spesifik dalam undang-undang di Indonesia:

1. Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan: Penganiayaan psikis yang menyebabkan gangguan mental serius, seperti depresi berat yang dialami Risma, dapat dikenai pasal ini jika terbukti bahwa tindakan pelaku merusak kesehatan mental korban.

2. Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan: Kekerasan psikis dalam bentuk ancaman verbal, intimidasi, atau manipulasi emosional bisa dikenakan pasal ini. Ancaman Risky untuk menyebarkan foto pribadi Risma di media sosial adalah contoh perbuatan yang dapat digolongkan sebagai perbuatan tidak menyenangkan.

3. Pasal 2U UU ITE: Jika ancaman atau tindakan kekerasan psikis dilakukan melalui media sosial atau alat komunikasi elektronik, seperti yang dilakukan Risky, maka pelaku bisa dijerat dengan UU ITE. Ancaman penyebaran foto pribadi melalui media elektronik bisa dihukum berdasarkan UU ini.

BACA JUGA:Sportainment Indonesia: Transformasi Hukum dan Peluang Bisnis di Era Kemerdekaan Ke-79

4. UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS): Jika kekerasan psikis disertai dengan unsur seksual, pelaku bisa dijerat dengan UU TPKS yang mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk dalam konteks hubungan personal seperti pacaran.

Tantangan dalam Penegakan Hukum Kekerasan Psikis dalam Pacaran:

Meskipun sudah ada dasar hukum untuk menjerat pelaku kekerasan psikis, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi dalam penegakan hukumnya, yaitu:

1. Kesulitan Pembuktian: Tidak adanya bukti fisik membuat kekerasan psikis sulit untuk dibuktikan di pengadilan. Bukti digital seperti pesan teks, tangkapan layar, dan rekaman suara menjadi sangat penting dalam mendukung laporan korban.

2. Bias Gender di Penegak Hukum: Banyak aparat penegak hukum masih menganggap kekerasan dalam pacaran sebagai masalah pribadi yang tidak perlu diproses secara hukum, sehingga sering kali laporan korban tidak ditindaklanjuti dengan serius.

3. Stigma Sosial: Korban kekerasan psikis sering kali enggan melapor karena takut menghadapi stigma dari masyarakat yang mungkin menganggap mereka lemah atau berlebihan.

4. Kurangnya Kesadaran Hukum: Banyak korban tidak mengetahui bahwa kekerasan psikis juga merupakan bentuk kekerasan yang dapat diproses secara hukum. Kesadaran akan hak-hak hukum ini masih sangat minim di kalangan masyarakat.

Kategori :