Marriage Is Scary: Menghadapi Ketakutan dengan Memahami Perlindungan Hukum dalam Perkawinan

Sabtu 31-08-2024,19:41 WIB
Reporter : Anis Tiana Pottag, S.H., M.H.,
Editor : Eko Yudiono

Analisis: Pasal ini menegaskan pentingnya persetujuan sukarela dari kedua belah pihak sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini penting untuk mencegah perkawinan yang dipaksakan, yang sering kali menjadi sumber masalah di kemudian hari. Persetujuan yang tulus dari kedua pihak juga merupakan fondasi dari perkawinan yang sehat dan bahagia.

Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan: “Perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”

Analisis: Penetapan usia minimum ini melindungi anak-anak dari perkawinan dini yang dapat merugikan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan mereka. Usia 19 tahun dianggap sebagai usia di mana seseorang sudah memiliki kematangan emosional dan mental yang cukup untuk memahami dan menjalankan tanggung jawab dalam perkawinan. Ini adalah langkah preventif untuk mengurangi jumlah perkawinan yang gagal karena ketidaksiapan pasangan.

Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement)

Perjanjian pra-nikah adalah kontrak antara pasangan sebelum menikah, yang mengatur hak dan kewajiban terkait harta yang dimiliki sebelum dan selama perkawinan. Perjanjian ini memberikan perlindungan hukum yang jelas jika terjadi perceraian atau perselisihan tentang harta.

Pasal 29 Ayat (1) UU Perkawinan: “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isi perjanjian juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Analisis: Perjanjian pra-nikah memungkinkan pasangan untuk mengatur pembagian harta dengan cara yang disepakati bersama. Ini memberikan perlindungan hukum yang lebih besar dan mengurangi potensi konflik di kemudian hari. Perjanjian ini penting untuk memberikan kejelasan dan keamanan bagi kedua pihak, terutama jika terjadi perceraian. Ini juga menjadi sarana untuk mencegah sengketa harta yang sering kali menjadi sumber ketegangan dalam perkawinan.

Hukum Waris dan Hak Pasangan

Setelah perkawinan, pasangan secara otomatis memiliki hak waris sesuai dengan sistem hukum yang berlaku (hukum perdata, hukum Islam, atau hukum adat). Memahami hukum waris penting untuk melindungi hak pasangan dan anak-anak jika salah satu pasangan meninggal dunia.

Dasar Hukum: Pembagian waris diatur oleh KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam, atau hukum adat, tergantung pada latar belakang agama dan budaya pasangan.

Analisis: Dengan memahami hukum waris, pasangan dapat memastikan bahwa hak-hak mereka dan anak-anak terlindungi, serta menghindari sengketa keluarga yang sering kali muncul setelah kematian salah satu pasangan. Ini penting untuk menjaga stabilitas keluarga dan memastikan bahwa aset yang telah diperoleh selama perkawinan dibagi sesuai dengan hukum yang berlaku. Memahami hukum waris juga memberikan ketenangan bagi pasangan, terutama dalam merencanakan masa depan bersama.

Perceraian dan Konsekuensinya

Perceraian adalah salah satu aspek hukum yang sering kali menakutkan bagi pasangan. Di Indonesia, perceraian harus diajukan ke pengadilan, dan prosesnya bisa sangat kompleks, terutama jika melibatkan anak-anak dan harta bersama.

Pasal 39 Ayat (1) UU Perkawinan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Analisis: Proses perceraian di pengadilan dirancang untuk memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk berdamai sebelum perceraian disahkan. Namun, jika upaya mediasi tidak berhasil, perceraian dapat dilanjutkan dengan pengaturan hak asuh anak dan pembagian harta. Ini menunjukkan bahwa hukum berusaha untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak dan memastikan bahwa perceraian dilakukan dengan pertimbangan yang matang.

Pasal 41 UU Perkawinan: Mengatur tentang akibat perceraian, termasuk hak asuh anak dan kewajiban memberikan nafkah.

Kategori :