SURABAYA, MEMORANDUM - Kasus Bripka FN, polwan pembakar suaminya akibat judi online memantik publik untuk kembali membincangkan fenomena ini.
Berdasarkan rapat kerja Menkominfo dengan Komisi I DPR RI, temuan PPATK tentang transaksi judi online menembus angka yang fantasis. Yakni, sebesar Rp 100 triliun untuk periode Januari-Maret 2024.
Johan Avie, pakar hukum fintech menyebutkan bahwa judi online sulit diberantas akibat adanya ekosistem bisnis yang menopang kejahatan itu, salah satunya adalah bisnis sistem transaksi elektronik.
“Fenomena judi online ini ironis, angka fantasis itu tetap muncul di tengah upaya Menkominfo yang telah memblokir 1,9 juta konten atau website taruhan daring sepanjang tahun 2023-2024. Para pelaku seperti menemukan celah untuk menjalankan aksi pertaruhan daring di Indonesia,” kata Johan, Kamis, 13 Juni 2024.
BACA JUGA:Kombespol Dirmanto: Motif Pembakaran karena Uang Kebutuhan Hidup Dipakai Judi Online
Johan menambahkan, di Indonesia, pengelolaan uang elektronik telah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Tahun 2018 tentang Uang Elektronik.
Setidaknya terdapat 110 perusahaan yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagai pemegang izin kategori 1 (uang elektronik), dan dapat menjalankan layanan jasa uang elektronik.
Berangkat dari sini, Johan pun memastikan bahwa alur untuk dapat memainkan taruhan di website judi online juga melibatkan sistem transaksi elektronik.
Tanpa sistem transaksi elektronik, maka pelaku judi online tidak akan dapat menjalankan permainan yang disediakan di website judi online. Hal inilah yang dimaksud sebagai ekosistem bisnis yang menopang judi online.
BACA JUGA:Pura-pura Kena Begal, Kurir Ninja Express Habiskan Uang Setoran untuk Judi Online
"Jadi di dalam website judi online itu kan ada saldo elektroniknya, nah saldo elektronik ini harus dicek sistem e-money-nya siapa, lalu saldonya diisi dengan cara top up, nah top up-nya memakai apa, payment gateway atau apa. Lalu ketika uang ditarik dari saldo ke rekening bank itu juga harus dicek sistem transfer dananya siapa. Semua itu menggunakan sistem transaksi elektronik,” jelasnya.
Untuk memberantas judi online, Johan lantas mendorong pihak kepolisian untuk menggunakan perspektif tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurutnya, TPPU diperlukan sebagai tombak utama aparat penegak hukum.
"Jangan hanya pemilik website dan pemain judinya saja yang ditangkap, polisi juga perlu follow the money, telusuri aliran dananya, siapa-siapa saja yang terima keuntungan dari situ,” tandas Johan.
Johan menuturkan bahwa di dunia fintech ada istilah yang sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan pengusaha sistem transaksi elektronik. Istilah itu adalah black merchant.
BACA JUGA:Promosikan Judi Online, Selebgram Cantik Diciduk Polres Tulungagung