umrah expo

Gara-Gara CCTV: Hati yang Terluka (3)

Gara-Gara CCTV:  Hati yang Terluka (3)

-Ilustrasi-

SUDAH tidak usah dicari alasan. Aku sudah lihat sendiri. Dari rekaman itu,” ujar Bulan pelan. Matanya bengkak, tapi suaranya tak lagi bergetar. Justru tenang dan itu yang paling menakutkan bagi Bintang.

Bintang duduk di meja makan, kursi di seberangnya kosong. Biasanya diisi oleh anak-anak yang ribut, atau oleh Bulan yang cerewet soal piring kotor. Tapi kali ini, hanya secarik kertas dan sebuah flashdisk kecil yang tertinggal. Di layar laptopnya, rekaman CCTV terakhir masih terbuka detik demi detik dari pengkhianatannya sendiri.


Mini Kidi--

“Bulan… aku khilaf. Aku capek. Kamu sibuk terus. Aku ngerasa kesepian di rumah ini…” suara Bintang parau, seolah sedang membela diri di pengadilan kehidupan.

“Kesepian? Jadi kau isi dengan wanita lain? Di rumah ini?” Bulan menatapnya lurus. “Kau bahkan tak berani melakukannya di luar. Karena bagian dari dirimu tahu itu salah. Tapi kamu tetap lakukan.”

Bintang terdiam. Tak ada kalimat pembelaan yang layak diucapkan. Semua sudah jelas.

Beberapa minggu berlalu. Rumah itu kini lebih sunyi dari biasanya. Suara anak-anak sudah tak terdengar. Tawa yang biasa berlarian dari kamar ke ruang tengah sudah lenyap. Yang tertinggal hanya jejak.

Suatu malam, Bintang memutar ulang rekaman yang sama. Tapi bukan untuk menyiksa diri, melainkan untuk mengingat bukan pada kesalahannya, tapi pada momen dia kehilangan segalanya karena satu keputusan bodoh.

Ia membaca pesan singkat yang dulu dikirim Bulan di malam ia pergi:

“Terima kasih karena pernah menjadi rumah. Tapi rumah seharusnya tempat pulang, bukan tempat aku harus waspada.”

Di satu titik, Bintang duduk di masjid kecil dekat rumahnya. Seorang pria tua di sampingnya bertanya, “Sedang bingung, Nak?”

Bintang hanya mengangguk.

“Jangan tunggu CCTV untuk mengingatkan benar dan salah,” lanjut pria itu. “Karena Tuhan tidak butuh kamera. Dia lihat semuanya, bahkan niat.”

Ucapan itu menampar keras. Bintang menunduk, dan untuk pertama kalinya ia menangis bukan karena kehilangan, tapi karena sadar. Ia terlalu percaya dirinya bisa menutupi luka, padahal kejujuran itu lebih menyembuhkan daripada semua pembenaran.

Sumber: