umrah expo

Gara-Gara Warisan: Berakhir di Meja Hijau (2)

Gara-Gara Warisan: Berakhir di Meja Hijau (2)

-Ilustrasi-

HARI persidangan itu akhirnya tiba. Bintang datang lebih pagi, mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Di tangannya, ia menggenggam surat wasiat yang telah lama ia jaga, meski kini penuh coretan tanda legalisasi dan catatan notaris.

Ruang sidang terasa dingin. Di seberang meja, duduk Doni dengan wajah tegang dan mata tajam. Keduanya tidak lagi seperti saudara yang dulu suka bercanda soal siapa yang lebih disayang Ibu. Di ruangan itu, mereka seperti dua orang asing yang sedang berebut kepastian hukum bukan kasih sayang.


Mini Kidi--

Hakim membuka sidang dengan suara tegas. “Perkara ini menyangkut sengketa warisan berupa satu unit rumah dan tanah atas nama almarhum Bapak Suyono. Para pihak, harap menjelaskan klaim masing-masing.”

Kuasa hukum Doni langsung bicara, “Kami mengajukan keberatan atas keabsahan surat wasiat yang dijadikan dasar klaim. Surat tersebut tidak dicatatkan secara resmi dan dibuat tanpa saksi, serta baru muncul setelah almarhum wafat.”

Bintang terdiam sejenak. Bulan yang duduk di barisan pengunjung menggenggam tangannya erat. Ia berbisik, “Jangan takut Mas… ceritakan yang sebenarnya.”

Dengan suara tenang namun berat, Bintang angkat bicara. “Yang Mulia, surat ini memang tidak dibuat di notaris, tapi ditulis tangan oleh Ayah di hadapan saya dan Lila. Kami tidak berpikir akan ada konflik karena selama hidupnya, Ayah sangat percaya bahwa rumah ini akan saya jaga untuk keluarga besar.”

Hakim mengangguk. “Apakah ada saksi yang hadir malam surat ini ditulis?”

Dari belakang, Lila berdiri. Suaranya sedikit bergetar. “Saya, Yang Mulia. Saya ada di sana saat Bapak menulis surat itu. Bahkan Ibu juga sempat menandatangani sebagai saksi sebelum wafat tiga bulan kemudian.”

Namun Doni membalas, “Tapi mengapa surat itu baru muncul setelah saya minta pembagian warisan? Kenapa tidak sejak awal dibuka?”

Hening sejenak. Bintang menatap Doni, lalu menjawab lirih, “Karena aku pikir kamu akan percaya padaku sebagai adikmu.”

Di ruang sidang itu, tak ada lagi kenangan masa kecil. Semua berubah menjadi dokumen, keterangan saksi, dan analisis hukum.

Persidangan ditunda untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sepulang dari pengadilan, suasana di mobil Bintang dan Bulan begitu hening.

“Mas, bagaimana rasanya?” tanya Bulan.

Sumber: