umrah expo

Dunia Berkubu dalam Bayangan Senjata

Dunia Berkubu dalam Bayangan Senjata

Fatkhul Aziz--

Kita hidup dalam zaman yang memilih untuk kembali menjadi kubu-kubu. Seperti pedagang di pasar yang risau, bangsa-bangsa berkumpul bukan lagi di sekitar gagasan, melainkan di sekitar senjata. Mereka menyebutnya aliansi, pakta pertahanan, kemitraan strategis. Tapi pada hakikatnya, itu adalah pagar-pagar yang mereka bangun, dengan pos-pos pengawal dan kawat berduri, sambil membisikkan mantra: kita harus aman.

Dan kita saksikan NATO, yang lahir dari sisa-sisa Perang Dingin, tiba-tiba menemukan napas baru. Rusia yang mendesak ke Ukraina memberikannya raison d'être yang hampir terlupakan. Eropa yang waswas kembali memandang ke seberang Atlantik, mencari perlindungan lama. Tapi setiap perlindungan adalah sebuah ikatan. Dan setiap ikatan, pada gilirannya, adalah sebuah klaim.

BACA JUGA:Mendengarkan Héctor Lavoe, Melihat Dunia Bekerja


Mini Kidi--

Lalu ada BRICS—sebuah akronim yang berpretensi menjadi tandingan. Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan. Mereka bukan aliansi militer, katanya. Mereka adalah perkumpulan untuk pembangunan, untuk multipolaritas. Tapi dalam dunia di mana ekonomi dan kekuatan senjata berjalan beriringan, apa artinya ‘bukan aliansi militer’? Mereka adalah blok yang merapat, sebuah counter-narrative yang diam-diam juga mempersenjatai diri. China membangun angkatan lautnya. India membeli senjata dari mana saja. Rusia, dengan semua kekurangannya, tetap menjual ancaman dan rudalnya.

Dan Timur Tengah—tanah yang tak pernah henti diperebutkan—kini menyaksikan lahirnya aliansi-aliansi baru yang samar. Bukan pakta formal yang kaku, melainkan jaringan loyalitas yang dibangun dari kesamaan musuh, atau kesamaan patron. Ada poros Turki-Qatar. Ada blok Saudi-UEA-Mesir yang diam-diam didukung oleh Amerika, yang lalu harus berhadapan dengan poros Iran-Suriah. Mereka berjabat tangan, tapi tangan yang lain memegang pedang.

BACA JUGA:Membaca Puing di Hari Maulid

Agresi militer bukan lagi hal yang luar biasa. Ia menjadi semacam bahasa diplomasi yang brutal. Rusia ke Ukraina adalah sebuah pesan bahwa perbatasan bisa diubah dengan darah dan besi. Sebuah negasi terhadap sejarah, sebuah klaim paksa atas tanah yang dianggapnya bagian dari dirinya. Dunia memprotes, menerapkan sanksi, tapi perang berlanjut. Nyawa menjadi angka. Kota menjadi puing.

Lalu Israel ke Gaza. Sebuah respons atas kekejaman yang menjadi pembenaran untuk kekejaman yang lain. Sebuah siklus yang tak putus: kekerasan melahirkan kekerasan, duka melahirkan duka. Dan dunia kembali terbelah, bukan dalam kesepakatan untuk menghentikan pertumpahan darah, melainkan dalam memilih pihak mana yang lebih benar dalam penderitaannya. Kemanusiaan terkubur di bawah reruntuhan retorika.

BACA JUGA:Zaman Kabar Kabur

Dan di tengah semua ini, Amerika—sang polisi dunia yang lelah—melakukan sebuah perubahan semantik yang signifikan. Pentagon, markas besar angkatan perangnya, mengubah nama Department of Defense (Kementerian Pertahanan) kembali menjadi Department of War (Kementerian Perang). Sebuah pengakuan yang jujur, atau sebuah sinisme yang tak terelakkan?

“Pertahanan” selalu adalah eufimisme. Ia berpretensi bahwa kekuatan militer dibangun untuk melindungi, bukan menyerang. Tapi dalam praktiknya, garis antara mempertahankan diri dan memulai perang selalu kabur. Perubahan nama ini adalah pengakuan bahwa topeng telah dilepas. Bahwa kita berperang, dan kita tidak perlu lagi menyembunyikannya dengan kata-kata yang lembut.

BACA JUGA:Kekacauan Kreativitas

Dalam bayang-bayang kubu yang kita bangun, puisi Subagio Sastrowardoyo justru datang mengingatkan pada sebuah tanggung jawab yang lebih dalam. Sebuah suara yang merintih dari balik tembok-tembok pembatas kita.

Sumber: