Zaman Kabar Kabur
Fatkhul Aziz--
Sri Mulyani, beban negara. Begitu kiranya yang ingin disampaikan oleh video viral itu. Suara yang tak asing. Wajah yang juga tak asing. Tapi, apakah itu benar? Apakah benar yang kita lihat itu adalah apa adanya?
Sepertinya tidak.
Video yang viral itu, ternyata bukan dari Sri Mulyani yang asli, melainkan deepfake. Sebuah teknologi akal imitasi (AI) yang dapat memanipulasi video, gambar, atau suara. Sebuah kejahilan teknologi. Tentu saja, kejahilan yang kejam. Bukan saja Sri Mulyani, tetapi para pemimpin kita juga menjadi korban. Khofifah Indar Parawansa dikloning untuk menipu masyarakat dengan janji motor murah. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pernah dikloning untuk menipu masyarakat dengan janji bantuan uang. Bahkan Joko Widodo pernah "dipaksa" berbicara dalam bahasa Mandarin di sebuah video palsu. Hantu-hantu digital ini kini berkeliaran, mereka ada, namun palsu.
BACA JUGA:Darurat Virus

Mini Kidi--
Bagaimana membedakan yang asli dan palsu? Di tengah lautan informasi yang tak berujung, makin sulit menemukan daratan. Apalagi kini, dengan adanya deepfake, kita seolah berada di tengah kabut tebal, tak bisa lagi melihat dengan jelas.
Di Indonesia, data dari perusahaan teknologi VIDA menyebut lonjakan kasus deepfake hingga 1.550 persen antara tahun 2022 dan 2023. Sebuah angka yang mengerikan. Seperti penyakit menular, deepfake menyebar dengan cepat dan melumpuhkan kepercayaan kita. Kasus serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia. Di Korea Selatan, misalnya, deepfake digunakan untuk membuat konten pornografi. Sementara di Hong Kong, para penjahat siber berhasil menipu sebuah perusahaan dengan menyamar sebagai CEO palsu melalui panggilan video deepfake dan mencuri dana hingga miliaran rupiah.
Para ahli menyebut ini infopocalypse—atau prahara informasi. Sebuah masa ketika informasi yang benar dan yang salah tidak lagi bisa dibedakan. Kebenaran objektif menjadi kabur. Hoaks, sebuah kata yang awalnya menunjuk pada kebohongan, kini dianggap sebagai kebenaran.
BACA JUGA:Menanti Terobosan Kepala BNN Baru
Azizatuz Zahro, seorang peneliti dari Universitas Negeri Malang, bersama timnya, menyebut deepfake telah menjadi bagian dari kejahatan siber.
Mengapa kita begitu mudah terpengaruh? Mungkin karena kita terlalu cepat percaya. Kita memahami informasi hanya sepotong-sepotong. Gegabah. Atau, kita sudah terlalu lelah mencari tahu mana yang benar.
Apakah kita sudah memasuki era post-truth? Ketika perasaan lebih penting dari fakta, dan hoaks lebih cepat sampai dari kebenaran. Mungkin. Tapi, kita bisa mencoba untuk berhenti sejenak. Berpikir. Bertanya. Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apakah itu benar?
BACA JUGA:DNA Tak Cocok, Kebenaran Tak Bisa Dipaksakan Opini
Kita harus selalu ingat, mata dan telinga kita bisa saja dibohongi. Tidak dengan tangan kosong, tetapi dengan teknologi. Dan teknologi, seperti sebuah pisau, bisa digunakan untuk memotong sayuran, tapi juga bisa untuk melukai.
Sumber:


