umrah expo

Tagihan Pajak Reklame Bengkak 500 Persen, Hiswana Migas Protes Keras ke Pemkot Surabaya

Tagihan Pajak Reklame Bengkak 500 Persen, Hiswana Migas Protes Keras ke Pemkot Surabaya

Rapat dengar pendapat yang berlangsung di Komisi B DPRD Surabaya. --

SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Para pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) menyuarakan protes keras terhadap Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Mereka mengeluhkan tagihan pajak reklame susulan yang dinilai tidak wajar dengan kenaikan fantastis mencapai 500 persen.

Keluhan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (Hearing) bersama Komisi B DPRD Kota Surabaya yang digelar, Senin 28 Juli 2025. Hiswana Migas menegaskan bahwa anggapan yang beredar di media sosial bahwa para pengusaha menunggak pajak adalah tidak benar.


Mini Kidi--

Sekretaris DPC Hiswana Migas Surabaya, Sidha Pinasti, menjelaskan bahwa 99 persen dari total 97 SPBU di Surabaya telah melunasi kewajiban pajak reklame mereka untuk periode 2019 hingga 2023. Pembayaran tersebut, menurutnya, didasarkan pada Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) resmi yang dikeluarkan oleh Pemkot.

“Jadi kalau teman-teman dianggap tidak membayar itu salah besar. Kami punya bukti pembayaran yang sah berdasarkan tagihan resmi yang sudah terbayar lunas,” tegas Sidha Pinasti usai rapat dengar pendapat.

BACA JUGA:DPRD Surabaya Dukung Larangan Parkir Permanen di Tunjungan Demi Wajah Wisata Modern

Masalah muncul setelah periode 2023, ketika para pengusaha tiba-tiba menerima tagihan tambahan dengan nilai total mencapai sekitar Rp 26 Miliar. Kenaikan ini disebabkan oleh perubahan cara perhitungan objek pajak oleh Pemkot Surabaya tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu.

“Kami bingung perhitungannya dari mana. Tiba-tiba ada tagihan yang sangat fantastis, naiknya bisa 400 sampai 500 persen. Ini sangat membebani operasional kami,” keluh Sidha Pinasti.

Ia merinci, objek pajak yang semula hanya dikenakan pada logo "P" di menara utama SPBU, kini meluas hingga mencakup warna korporat yang melekat pada bangunan, seperti warna merah.

BACA JUGA:Status KBS jadi Perumda, Pansus DPRD Surabaya Prioritaskan Kajian Tarif dan Nama Baru

“Warna itu kan sangat subjektif. Kalau warna merah dianggap iklan Pertamina, banyak perusahaan lain seperti Telkomsel juga pakai warna merah. Pandangan ini belum diterima oleh Pemkot,” jelasnya.

Sidha Pinasti menambahkan, sebagai mitra pemerintah dalam mendistribusikan BBM, termasuk yang bersubsidi, SPBU beroperasi dengan margin keuntungan yang sudah diatur oleh Pertamina. Beban pajak yang tidak terduga ini dianggap mengganggu stabilitas operasional mereka.

Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochamad Machmud, menyatakan keberpihakannya pada para pengusaha SPBU. Ia menilai Pemkot Surabaya telah melakukan kesalahan dalam implementasi Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Reklame.

BACA JUGA:Anggota DPRD Surabaya Ajak Gotong Royong Wujudkan Generasi Anak Hebat

“Kami mendengar keluhan mereka ini sangat luar biasa. Mereka diperlakukan tidak adil dengan tagihan susulan yang mestinya tidak menjadi objek pajak tapi tetap dimasukkan,” kata Machmud.

Legislator dari Partai Demokrat ini menyoroti pengenaan pajak pada papan nama atau resplang SPBU yang dikenakan di seluruh sisi bangunan, termasuk bagian belakang yang tidak terlihat oleh publik.

“Yang belakang itu siapa yang lihat? Tapi tetap saja dikenai pajak. Ini tidak masuk akal,” tegasnya.

Machmud juga menyayangkan sikap Pemkot yang langsung memberi tanda silang pada SPBU yang dianggap kurang bayar. Menurutnya, tindakan tersebut merusak citra pengusaha seolah-olah mereka tidak taat pajak, padahal masalahnya terletak pada kesalahan hitung dari pihak pemkot.

BACA JUGA:Satu Alamat Dihuni Puluhan KK, DPRD Surabaya Desak Audit Kependudukan di Wilayah Padat

“Ini kesalahannya dari Pemkot, tapi korbannya pengusaha. Harusnya jangan disilang, tapi dikomunikasikan dengan baik,” ujarnya.

Sebagai perbandingan, Machmud menyebutkan bahwa definisi reklame dalam Perda Surabaya sama persis dengan yang berlaku di DKI Jakarta. Namun, implementasinya sangat berbeda.

“Di Jakarta, yang dikenakan pajak hanya tulisan ‘Pertamina’-nya saja. Tapi di Surabaya, semuanya dari depan, samping, hingga belakang dikenakan. Padahal aturannya sama persis,” pungkasnya.

Komisi B berencana akan menindaklanjuti hasil hearing ini dengan memanggil dinas terkait dari Pemkot Surabaya untuk meminta klarifikasi dan mencari solusi yang adil bagi para pelaku usaha.

Sumber: