Rumah Ibadah Diduga Jadi Alat Manipulasi Data Kependudukan di Surabaya
Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus.--
SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Upaya sejumlah warga pendatang untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota SURABAYA disinyalir menggunakan cara yang tidak lazim. Mereka diduga mencantumkan alamat rumah ibadah sebagai domisili dalam proses pembuatan KTP. Praktik ini sontak menuai sorotan dari Ketua Komisi A DPRD SURABAYA, Yona Bagus.
Yona mengungkapkan bahwa fenomena ini banyak dilakukan oleh pendatang dari luar Surabaya yang tidak memiliki alamat tinggal tetap di Kota Pahlawan. Untuk mengakali hal tersebut, mereka diduga memanfaatkan alamat gereja bagi pemohon beragama Kristen dan masjid bagi pemohon beragama Islam sebagai alamat domisili KTP.
BACA JUGA:Ketua Komisi A DPRD Surabaya Yona Bagus Widyatmoko Serap Aspirasi Warga Kelurahan Made

Mini Kidi--
"Mereka warga pendatang tidak bisa membuat KTP karena tidak punya alamat tetap. Akhirnya alamat gereja dijadikan domisili, sedangkan untuk muslim masjid dijadikan alamat," jelas Yona.
Meskipun demikian, Yona tidak menampik adanya pengecualian. Ia mengakui bahwa beberapa individu memang berhak mencantumkan alamat rumah ibadah jika mereka benar-benar tinggal dan menjalankan fungsi di sana, seperti pendeta, takmir masjid, atau marbot yang biasanya memiliki mess atau ruang tinggal khusus.
Namun, Yona dengan tegas menyatakan bahwa praktik pengajuan KTP dengan alamat rumah ibadah sebagai domisili secara umum tidak dapat dibenarkan dan berpotensi melanggar aturan administrasi kependudukan. Ia bahkan menduga adanya intervensi dari pihak eksternal yang memaksa agar permohonan KTP dengan modus seperti ini tetap diproses.
"Ada intervensi dari pihak eksternal yang meminta bantuan untuk pengurusan KTP menggunakan alamat di rumah-rumah ibadah," ungkapnya.
Yona khawatir fenomena ini, jika terjadi dalam skala besar, dapat disalahgunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga akses layanan publik lainnya. Ia menekankan bahwa pemalsuan domisili tidak hanya melanggar norma etika, tetapi juga menabrak ketentuan hukum yang berlaku.
"Kalau dalam jumlah cukup banyak, itu tidak masuk akal dan tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau tujuannya untuk mengelabui sistem administrasi kependudukan," lanjut Yona.
BACA JUGA:Kabinet Surabaya Berkah, Wakil Ketua DPRD Surabaya Tekankan Penempatan Pejabat Sesuai Kompetensi
Lebih lanjut, Yona menjelaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang secara eksplisit memperbolehkan penggunaan alamat rumah ibadah sebagai domisili KTP, kecuali dalam kondisi tertentu seperti yang telah disebutkan. Ia telah mempelajari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang seringkali dijadikan rujukan dalam isu terkait rumah ibadah.
Menurutnya, PBM tersebut hanya mengatur tentang pendirian rumah ibadah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), bukan mengenai penggunaan alamat rumah ibadah untuk keperluan administrasi kependudukan.
Sumber:



