Viral War Takjil, Wujud Indahnya Toleransi dan Keragaman Agama

Viral War Takjil, Wujud Indahnya Toleransi dan Keragaman Agama

Ning Lia Isthifama.--

Pada waktu itu, jumlah kaum muslimin sudah semakin banyak dan tersebar di berbagai tempat. Sehingga Rasulullah SAW mengalami kesulitan untuk mengumpulkan mereka pada tiap waktu salat.

Oleh karenanya, Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabat dan merundingkan tentang: ‘Bagaimana cara termudah dan teringan untuk mengumpulkan kaum muslimin di masjid pada setiap waktu salat?’

Sahabat memberikan beragam pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ketika tiba waktu salat, maka dinyalakan api. Ada juga yang berpendapat meniupkan terompet, ada pula yang berpendapat memukul lonceng, dan pendapat terakhir adalah menyerukan ‘ash-shalah’ sebagai panggilan salat.

Rasulullah SAW menyetujui pendapat yang terakhir yang disampaikan oleh sahabat Umar bin Khattab ra. Rasulullah kemudian berkata kepada sahabat Bilal: “Hai Bilal, bangunlah maka panggil lah dengan ash-Shalah”.

Selanjutnya ketika tiba waktu salat, sahabat Bilal berseru: “Ash-Shalatu jami’ah (Mari salat bersama-sama).

Kemudian pada suatu malam, sahabat Abdullah bin Zaid bermimpi melihat seorang lelaki berpakaian serba hijau berkeliling sambil membawa genta atau lonceng. Sahabat Abdullah bertanya: “Hai hamba Allah, apakah engkau hendak menjual genta itu?” Orang itu menyahut: “Apakah yang akan kau perbuat dengan genta itu (jika ingin membeli)?” Sahabat Abdullah menjawab: “Akan kami pergunakan untuk memanggil salat”.

Orang itu berkata: “Maukah engkau diperlihatkan yang lebih baik daripada menggunakan genta untuk memanggil salat?” Sahabat Abdullah menjawab: “Baiklah coba tunjukkan”.

Lantas lelaki tersebut berseru dengan ucapan: “Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammad ar Rasulullah. Asyhadu anna Muhammad ar Rasulullah. Hayya ‘ala Shalaah. Hayya ‘ala Shalaah. Hayya ‘alal Falaah Hayya ‘alal Falaah. Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallah.”

Cara menyerukan sholat sesuai isyarah dalam mimpi tersebut pun kemudian dilaksanakan sebagai seruan melaksanakan salat. 

Dalam sejarah permulaan azan tersebut bahwa sesungguhnya segala perbuatan yang berkenaan dengan ‘ubudiyah atau ibadah Islam, tidak diperkenankan mencampur adukkan dengan peribadatan agama lain.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk toleransi dan menghormati agama lain. Sebagai contoh, ketika menyerukan salat, jangan dengan cara menyalakan api karena itu identitas kaum Majusi, jangan meniupkan terompet yang merupakan simbol Yahudi, ataupun memukul lonceng yang merupakan identitas Nasrani. Hal ini tak lain bahwa setiap agama memiliki identitas dan harus saling dihormati.

Potret toleransi lainnya adalah ketika Khalifah Umar berhasil merebut tanah Palestina dari kekuasaan Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) pada tahun 638 M (16 H). Palestina (Illya’) pada masa Khalifah Umar memiliki budaya toleransi tinggi.

Konon, ketika tiba di Baitul Maqdis (Illiya’) setelah berhasil menaklukkan dari kekuasaan kaum Nasrani, Khalifah Umar mengunjungi tempat-tempat suci umat Nasrani, salah satunya adalah Gereja Holy Sepulchre.

Saat sedang berada di gereja ini, waktu salat pun tiba. Uskup Sophorius yang merupakan pemimpin umat Kristen pun mempersilakan sang Khalifah untuk salat di tempat ia berada, tapi Umar menolaknya.

Umar menjelaskan, sesuai Firman Allah SWT yang disampaikan melalui Rasulullah SAW: ” Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS Al-Kafirun ayat 6).

Sumber: