Cinta pada Pandangan Pertama Mengalahkan Segalanya (3)
Nilai Pelajaran Menurun, Diwajibkan Mengikuti Tes Psikologi Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Waskito mengakui keinginan bertemu Tutik semakin hari semakin menyodok ulu hati. Semakin tidak tertahankan. Dia membayangkanTutik sebagai gadis manis berkulit kuning langsat dan berambut panjang tergerai. Persis foto-foto yang dikirimkan gadis tersebut. Di sisi lain, pemilik senyum belati—karena bisa mengiris-iris hati perempuan yang memandang—ini mengkhawatirkan sesuatu yang selama ini dia sembunyikan terbongkar. Ya. Waskito yang sejak kelas empat SD kedua kakinya harus diamputasi pasca kecelakaan menyembunyikan kenyataan itu. Dia khawatir bila dia berterus terang soal ini, Tutik bakal tidak mau lagi berteman. Itu artinya, hilanglah kesempatan Waskito untuk menjadikan Tutik sebagai kekasih dan menikahinya. Kelak. Buyarlah semua angan-angan dan impian. Dan, itu sama sekali tidak diinginkan. Untuk menutup-nutupi fakta yang sebenarnya, setiap berkirim foto diri kepada Tutik, pemuda yang mahir lima bahasa asing ini selalu tidak menampakkan gambar tubuh seutuhnya. Bahkan, untuk melengkapi bualannya sebagai jago basket dan juara lari, Waskito meminta jasa studio untuk merekayasa fotonya agar tampak berdiri memegang bola basket dan pada foto lain sedang mengangkat piala lomba lari. Mendekati masa kelulusan SMP, entah mendapat kekuatan dari mana, Waskito mengajak Tutik ketemuan. “Jujur, aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak sekadar omong kosong ingin berjumpa dengannya. Meski ada kekhawatiran dia juga ingin bertemu, aku tepis kekhawatiran tersebut,” kata Waskito. Lantas dia pandangi mata istrinya. Mereka saling pandang. Mesra. Harapan dalam hati agar Tutik tidak segera merespons ajakannya bertemu terkabul. Dengan alasan belum mendapat izin orang tua untuk bepergian sendiri, gadis ini minta waktu Waskito untuk menyimpan dulu keinginan tersebut. Waktu-waktu setelah itu bergulir tidak lagi seindah sebelumnya. Waskito berubah menjadi remaja pendiam. Dia agak mengurangi kekerapan berbalas surat vs Tutik. Dia takut, seandainya suatu saat Tutik tahu kenyataan bahwa dirinya seorang penyandang disabilitas, betapa kecewanya dia. Memikirkan ini, Waskito sering tidak bisa tidur. Lebih tepatnya: takut tidur. Sebab, setiap memejamkan mata, dia selalu dibayangi mimpi-mimpi buruk. Dalam mimpi itu tergambar, antara lain, Tutik memberi surprise datang ke rumah. Saat melihat kenyataan dirinya duduk di kursi roda, Tutik membalikkan badan dan berlari menjauh. “Mimpi dengan latar belakang cerita seperti itu selalu menemani tidur-tidurku. Siang atau malam,” kata Waskito. Lirih. Tutik mempererat pelukan di leher sang suami. Lelaki itu pun menarik napas panjang. Nilai-nilai pelajaran Waskito di sekolah menurun. Dia dipanggil guru bimbingan dan penyuluhan (BP). Sebab, ujian kelulusan semakin dekat. Tentu saja Waskito tidak mengakui hal yang sebenarnya. Lucu andai asmara dijadikan alasan pelajar sebagai menyebabkan nilai-nilai akademisnya menurun. Waskito akhirnya mengaku tegang menghadapi masa-masa ujian. Namun karena alasan itu, pelajar yang selalu meraih peringkat satu, dua, dan tiga ini diharuskan mengikuti tes psikologis. (bersambung)
Sumber: