Cinta pada Pandangan Pertama Mengalahkan Segalanya (2)
Waskito Ngaku Juara Lari Sprint, Tutik Ngaku Juara Nyanyi Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Waskito mengaku hatinya bergetar saat kali pertama melihat foto Tutik. Ada nada-nada indah mengalun di hatinya. Sebaliknya, hal yang sama diakui Tutik. Siang-malam wajah Waskito selalu menghias mimpinya. “Waktu itu kami masih SMP lho,” kata Waskito. Tampaknya ia ingin menegaskan bahwa kisah kasih mereka tumbuh murni dan alami. Tutik tersenyum. Karena kasihnya kepada Tutik, Waskito mengaku ingin memilikinya suatu saat kelak. Mengikatkan diri dalam tali perkawinan yang sah. Yang diakui negara. Yang diakui agama. “Jujur, sejak awal perkenalan aku sudah berpikir untuk menikah dengan dia,” aku Waskito sambil menempelkan ujung telunjuknya di dada Tutik. Tutik tersenyum. Agar dirinya tampak sempurna di mata Tutik. Juga membanggakan dan patut diraih kasih sayangnya, dalam surat-suratnya Waskito sering menggambarkan diri sebagai remaja idola. “Aku mengaku sebagai jago basket dan sering dikelilingi anak-anak cantik. Aku juga mengaku sebagai juara renang dan lari sprint,” kata Waskito, yang disambung senyum masam. Dia lirik Tutik, yang justru tampak asyik mengenang masa lalu dari bibir sang suami. Setiap membalas surat Waskito, Tutik selalu memuja-muja kehebatan sahabatnya tersebut. Waktu itu mereka belum memproklamasikan hubungan sebagai sepasang kekasih. Dada Waskito dibuat sesak menahan beban pujian Tutik. Kepalanya bahkan terasa sering mau pecah. Bangga. Surat mereka tidak pernah terlambat dibalas. Begitu menerima surat dari Tutik yang dikirim dari Jogjakarta, Waskito yang tinggal di Jombang langsung membalasnya. Begitu sebaliknya. Jadi, surat-surat mereka ibarat hujan yang tak pernah reda. Waskito tak kalah bangga terhadap Tutik. Gadis tersebut mengaku juara nyanyi tingkat kabupaten. “Waktu itu saya membayangkan Tutik menyanyikan Bengawan Solo yang khusus dipersembahkan untukku. Saya main gitar klenengan dan Tutik menyanyi… wow indahnya.” Waskito membayangkan itu karena itulah pemandangan yang hampir setiap saat tersaji di hadapannya. Ayahnya yang gagal menjadi pemetik gitar Elpamas selalu dengan setia mengiringi ibunya nyanyi di teras rumah. Hampir saban sore. Agar nantinya bisa piawai mengiringi Tutik menyanyi, sejak itu Waskito makin giat belajar memainkan gitar. Belajar dari ayah, yang kemampuannya mancabik-cabik sinar gitar tak kalah dari Dewa Budjana dan Ian Antono. Cuma nasib yang membedakan mereka. Intensitas suat-menyurat Waskito vs Tutik semakin rapat. Bila pada awalnya hanya dua bulan sekali, seiring perjalanan waktu merapat menjadi sebulan sekali dan dua minggu sekali. “Ketika kami duduk di bangku kelas tiga, keinginan bertemu sangat besar,” aku Waskito, yang dibenarkan Tutik dengan anggukan. (bersambung)
Sumber: