Aktivis Perempuan: Darurat Judi Online Bukti Kemiskinan Kultural Tumbuh Subur

Aktivis Perempuan: Darurat Judi Online Bukti Kemiskinan Kultural Tumbuh Subur

Lia Istifhama--

"Mereka hanya membohongi masyarakat, merekayasa dan nge-prank dengan segala bujuk rayu agar masyarakat mau menaruh uang dan diputar-putar oleh sistem judi online melalui slot dan sebagainya, yang ujungnya justru menggerus uang rakyat yang terlanjur terkena tipu daya. Prihatinnya, banyak pengguna judi online yang berada dari kalangan menengah bawah atau wong cilik," beber Ning Lia.

 

Menurutnya, mungkin karena himpitan ekonomi dan namanya manusia ingin mendapatkan uang secara mudah dan instan, sehingga sangat rentan jika kemudian terbujuk rayu promosi judi online.

 

"Terlebih jika dimulai dari nominal yang rendah, yaitu 10 ribu rupiah. Tapi kemudian dari uang 10 ribu rupiah inilah bencana bisa datang. Yaitu bujuk rayu dan rekayasa iming-iming uang besar dari penyedia judi online, yang akhirnya membuat pengguna lupa diri dan kecanduan," tandasnya.

 

Mudahnya judi online membuat masyarakaty terbuai, terang keponakan Khofifah Indar Parawansa, sebagai bentuk mispersepsi istilah passive income.

 

“Istilah passive income yang diterapkan dalam judi online berkedok investasi atau bisnis telah mengkaburkan arti sesungguhnya dalam passive income. Bahwa yang namanya penghasilan, harus didapat dari bekerja. Dan kalaupun penghasilan dari investasi, maka investasi yang jelas, nyata, dan terlegitimasi secara hukum atau sah di hadapan negara," jelas dia.

 

Namun apabila kemudian ternyata masih banyak yang terpedaya ingin memiliki passive income secara instan tanpa bekerja, yaitu hanya menaruh uang lantas diputar-putar oleh pihak tertentu, ini namanya kemiskinan kultural.

 

"Ini model kemiskinan yang dibuat dengan cara rekayasa pola pikir bahwa orang bisa kaya tanpa harus bekerja, melainkan bermodal percaya belaka atas uangnya kepada pihak tertentu. Jadi, judi online merupakan rekayasa passive income zaman now dan membuktikan masih suburnya sikap kemiskinan kultural," tuntas Ning Lia. (bin/fer)

 

Sumber: