Pasca IPT Dicabut, PTPN XI Bisa Gugat Pemkot

Pasca IPT Dicabut, PTPN XI Bisa Gugat Pemkot

Surabaya, Memorandum.co.id - Penghuni tanah surat ijo atau izin pemakaian tanah (IPT) yang haknya dicabut Pemkot Surabaya seharusnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini ditegaskan Kepala Laboratorium Hukum Administrasi Negara Universitas Surabaya (Ubaya) Dr Taufik Imam Santoso."Mestinya mengajukan gugatan. Ini untuk membuktikan apakah tanah tersebut asetnya Pemkot Surabaya atau bukan. Paling banter pemkot nanti menunjukkan hak pengelolaan lahan (HPL) nomor sekian,” beber Taufik yang selama ini konsen terhadap persoalan tanah di Surabaya. Untuk diketahui Pemkot Surabaya mencabut IPT di Jalan Ngagel Jaya Barat 36 yang selama ini digunakan sebagai Klinik Utama Welas Asih milik PTPN XI. Akibatnya klinik tersebut tak beroperasi sejak 15 November 2019. Apalagi, lanjut Taufik, ternyata PTPN XI selaku pemilik tanah tersebut memiliki bukti kepemilikan berupa surat dari kementerian keuangan. Maka, sudah seharusnya PTPN XI menunjukkan surat kemenkeu ke pemkot. Surat kemenkeu itu bernomor s-911/mk.013/1991 tanggal 15 Agustus 1991 menjawab surat menteri pertanian tentang likuidasi PT Perkebunan XVII dan menyetujui pabrik karung Rosella dijual kepada PT Perkebunan XXIV-XXV yang pada 1996 dimerger menjadi PTPN XI."Kalau seperti itu, pemilik tanah harus bertahan di sana, meski IPT nya dicabut Pemkot Surabaya,” tegas dia. Lebih jauh, Taufik menjelaskan, hak pengelolaan lahan (HPL) yang dipegang Pemkot Surabaya itu baru muncul 1997. Sedangkan mereka yang sudah menghuni di sana sudah puluhan tahun. Artinya warga atau penghuni yang wajib memiliki lahan tersebut. Apalagi jika mengacu kepada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Taufik menguraikan, bahwa pada 1958 ada surat pemerintah dengan dasar domein verklaring, yakni semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara karena menggunakan UU peralihan. Setelah ada UUPA 1960, UU peralihan itu putus. Persoalan ini muncul pada 1997, pemkot memasukkan tanah tersebut sebagai asetnya.Padahal dalam syarat HPL, tanah yang dikuasai itu harus bersih dari penghuni. Maka, pemkot harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat. "Kalau pemkot bertahan itu asetnya, harus jelas definisi aset. Yang namanya aset itu tanah yang dibeli menggunakan APBD dan APBN. Perolehan yang sah dan ada transaksinya,”pungkas dia. Sementara itu Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya MT Ekawati ketika dikonfirmasi lewat HP, tidak mau menjawab. Alasannya masih ada kegiatan di luar. (udi/dhi)

Sumber: