Didemo Dua Kelompok Massa, Pengesahan Raperda RTRW Ditunda

Didemo Dua Kelompok Massa, Pengesahan Raperda RTRW Ditunda

Pasuruan, memorandum.co.id -  Biasanya sidang paripurna pengesahan di gedung DPRD selalu lancar. Tapi tidak dengan raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sedianya, Senin siang (8/5/2023)  digelar paripurna untuk pengesahan raperda menjadi perda RTRW. Namun paripurna ini akhirnya ditunda. Salah satunya karena ada gelombang aksi dari dua kelompok massa pada pagi harinya. Ya, pagi hari kemarin, dua aksi massa ngelurug kantor DPRD Kabupaten Pasuruan di Raci Bangil. Satu aksi dipimpin Lasminto dengan mengawal para petani dari Alas Tlogo, Lekok dan Nguling. Mereka memprotes, karena kawasan lahan milik TNI AL di raperda RTRW bukan lagi di kawasan Lekok, namun sudah melebar ke kawasan Nguling. “Ini yang kami sesalkan. Dalam peta bidang itu wilayah Nguling masuk kawasan lahan yang dikuasai milik TNI AL,” katanya saat berada di lantai atas gedung DPRD. Tentu saja, lanjut Lasminto, raperda RTRW ini bukan saja merugikan masyarakat, namun pihak Pemkab Pasuruan seolah abai dengan kepentingan masyarakat sendiri. Kehadiran para warga dan petani asal Lekok dan Nguling kemarin diterima Wakil Ketua DPRD, Rusdi Sutejo dan beberapa anggota komisi 1. Salah satu anggota Komisi 1, Abubakar menilai kajian yang dilakukan Pemkab Pasuruan soal Raperda RTRW ini sangat lemah. Apalagi, soal peta bidang lahan yang dikuasai TNI AL sampai melebar ke kawasan Nguling, sepenuhnya belum mengajak wakil rakyat untuk berunding. “Kami sama sekali belum pernah diajak bicara soal ini. Apalagi, dikawasan Nguling itu saya mendengar akan dibangun kawasan Industri seluas 40 hektar. Dan kita tidak pernah diajak bicara soal ini,” tegas Bang Ayub, panggilan Abubakar. Demo pertama belum selesai, muncul demo dari kelompok aktivis LSM. Kelompok aktivitis mendatangi kantor DPRD sekitar pukul 09.30 WIB. Untuk menarik perhatian, mereka sampai berani bertelanjang dada. “Kami bertelanjang dada dalam aksi ini dimaksudkan agar DPRD terbuka dalam membahas raperda RTRW. Kami juga menginginkan pembahasan raperda RTRW ditunda. Karena terkesan dipaksakan. Kami khawatir raperda ini sarat titipan koorporasi, dan tidak melihat upaya penyelamatan lingkungan,” jelas Lujeng Sudarto, koordinator aksi. Yang tak kalah penting, lanjut Lujeng adalah terkait sanksi penindakan hukum bagi para pelanggar tata ruang tata wilayah. Dalam perda yang lama saja yakni, Perda nomor 12 tahun 2010 itu terdapat ketentuan pidananya. “Tapi di Raperda ini ketentuan pidananya malah dihapus. Terus kalau ada pelanggar RTWR, siapa yang mau tanggung jawab,” tegas Lujeng. “Jadi kami sepakat, tolak Raperda. Kami tidak anti investasi. Tapi kami lebih fokus pada penyelamatan lingkungan dan penegakan hukum,” imbuhnya. Para aktivis ini kemarin diterima masuk oleh para pimpinan DPRD. Yakni, Sudiono Fauzan, Andri Wahyudi dan Rusdi. Hadir pula Sekda Kabupaten, Yudha Trwidya Sasongko. “Kalau untuk penundaan pengesahan Raperda, nanti kami akan konsultasikan hal ini kepada ketua-ketua fraksi dan komisi. Kita dengar pendapat mereka,” cetus Sudiono Fauzan. Sementara itu, Sekda Yudha sempat menjawab jika poin tidak ada ketentuan pidana dalam raperda RTRW itu, karena yang bisa dilakukan oleh penyidik PPNS hanya sebatas tipiring (tindak pidana ringan). “Penindakan kita hanya sebatas tipiring itu. Kalau denda maksimal Rp 50 juta,” cetus Yudha. Mendengar hal ini, Lujeng yang duduk disamping sekda langsung menimpali. “Pemkab ini lucu. Perda lama saja kita punya ketentuan dan dimasukkan unsur pidana sampai penjara 5 tahun dan denda Rp 500 juta. Ini di Raperda baru kok malah tidak ada. Terus kalau ada pelanggaran, pemkab bisa apa?” tegas Lujeng. Usai pertemuan tersebut, para pimpinan dewan kemudian memanggil pimpinan komisi dan fraksi. Hasilnya, mereka sepakat untuk menunda pengesahan Raperda RTRW dan menjadwalkan paripurna kembali. (mh)

Sumber: