Jangan Ada Lagi Ludah FC di Sepak Bola Indonesia
Di pertandingan lanjutan Liga 1 musim 2022/2023, Selasa (6/12/2022) malam, Kapten Borneo FC Diego Michiels dikartu merah wasit. Sebelumnya dia terlihat meludahi dan memukul pemain Persija Michael Krmenčík. Kejadian yang membuat saya sedikit terkejut. Meski dia dikenal sebagai 'bad boy' namun, saya tetap kaget ketika melihat dia melakukan tindakan yang mencederai fair play. Maka, ketika dia diusir wasit ke luar lapangan, bayangan saya melayang ke sekitar 11 tahun lalu ketika kali pertama bertemu pemain mualaf itu. Saat itu dia baru datang ke Indonesia. Kami bertemu di salah satu hotel kawasan Surabaya Selatan. Kedatangannya dalam rangka program naturalisasi pemain berdarah Indonesia. Kebetulan, Diego mempunyai darah Indonesia. Ayahnya Robbie Michiels dari Jakarta dan ibu dari Belanda, Annet Kloppenburg. Diego Michiels lahir di Deventer, Belanda pada 8 Agustus 1990. Ketika datang ke Indonesia, usianya masih 21 tahun. Karena itu, ketika resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dia kemudian memperkuat Timnas U-23 pada 2011-2013. Tidak terasa, kami sudah berbincang sekitar sejam. Diego terlihat antusias dengan sepak bola Indonesia. Dia juga tidak sabar untuk segera berbaju Timnas. Tidak lupa dia juga menceritakan bagaimana lezatnya makanan khas Indonesia utamanya nasi goreng. Tidak ketinggalan soal gadis-gadis Indonesia yang menurutanya cantik-cantik. Di kemudian hari, hal terakhir ini sangat mempengaruhi karirnya di sepak bola. Selanjutnya, Diego sempat bermain untuk Pelita Jaya, Arema (IPL) Sriwijaya FC, Mitra Kukar, Borneo dan Arema sebelum akhirnya kembali ke Borneo sebelum Liga 1 musim 2022 bergulir. Beberapa hari sebelum Liga 1 akhirnya kembali, dia sempat mengunggah status yang cukup frontal di akun Instagram pribadinya. Namun, status itu kemudian diganti dengan emoticon tertawa. Meski unggahan statusnya ketika itu cukup frontal, namun saya melihat semangat dan kerinduannya untuk segera bermain sepak bola. Olah raga yang tidak hanya menjadi denyut nadinya, namun juga nahkah bagi keluarganya. Nah, kejadian meludah dan pemukulan yang dilakukan Diego jelas-jelas tidak pantas dan sekali lagi mencederai fair play. Namun saya kok melihatnya Diego hanya terlalu bersemangat setelah Liga vakum sejak sekitar sebulan lalu. Karena itu, ketika kembali bergulir, pemain yang pernah dekat dengan Nikita Willy itu terlalu bersemangat. Apalagi, sebagai Kapten tim, dia juga tidak ingin timnya kalah. Namun tetap saja, apa yang dilakukan Diego tidak pantas dilakukan pemain profesional. Lebih tidak pantas lagi ketika anak-anak di bawah umur yang sangat ingin menjadi pemain sepak bola profesional melihatnya langsung via tayangan televisi. Kini, tanggung jawab ada di PT Liga selaku operator kompetisi untuk melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut. PSSI juga harus menilai kejadian itu secara objektif agar peristiwa serupa tidak terulang lagi. Kasus Diego selanjutnya bisa menjadi pelajaran berharga. Mengingat, di tengah euforia Piala Dunia Qatar 2022, kita seharusnya belajar banyak bahwa sejatinya sepak bola adalah bersenang-senang. Lawan hanya berlaku 90 menit selanjutnya saling menceritakan dan menertawakan kejadian di lapangan. Seperti ketika Polandia dikalahkan Prancis 1-3. Robert Lewandowski dkk terlihat akrab berbincang dengan Kylian Mbappé. Padahal sebelumnya, mereka saling jegal di lapangan hijau. Piala Dunia Qatar juga mengajarkan bagaimana kebesaran hati seorang pelatih Jepang Hajime Moriyasu yang membungkukkan badan di hadapan tribune yang diisi para suporter Jepang setelah timnya kalah via adu penalti 1-3. So, apakah kita masih tidak mau belajar tentang bagaimana respect dan tindakan fair play dalam sepak bola? Cukuplah kasus Diego yang kembali mencederai fair play sepak bola. Apalagi kita masih dalam suasana duka pascatragedi Kanjuruhan. Jangan ada lagi ‘Ludah FC’ dan ‘Pukul FC’ di tengah kompetisi Liga 1 yang masih karut-marut. Semoga. (*)
Sumber: