563 Kasus Kekerasan Anak di Jatim, 37 Persen Bullying di Sekolah
Surabaya, memorandum.co.id - Kasus kekerasan terhadap anak masih marak terjadi di Kota Surabaya. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mencatat, hingga November 2022, ada sebanyak 96 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi. Dari angka itu, 37 persen merupakan bullying di sekolah. "Kasus kekerasan terhadap anak di Jatim hingga pertengahan November 2022 mencapai 563 kasus. Sedangkan di Surabaya sekitar 96 kasus, hampir menyentuh 100 kasus. 37 persennya merupakan kasus bullying di sekolah," ucap Ketua Bidang Data, Informasi dan Litbang LPA Jatim M Isa Ansori, Kamis (1/12). Menurut telaahnya, kasus kekerasan anak tiap tahun terus naik lantaran masyarakat mulai melek untuk melaporkan. Era saat ini membuat masyarakat lebih terbuka dan lebih mudah untuk menyampaikan keresahannya. "Dari kasus-kasus yang tercatat tersebut, kenapa Kota Surabaya banyak muncul (kasus kekerasan terutama bullying), itu karena pertimbangan masyarakat yang mulai mudah menyampaikan informasi dan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi untuk melaporkan," jelas Isa. Oleh karena itu, berangkat dari masih maraknya kasus bullying di sekolah, LPA Jatim mendorong agar Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya meningkatkan sistem penanggulangan kekerasan terhadap anak. Potensi tersebut harus ditekan sedini mungkin. "Perlu adanya gugus tugas khusus, saya menyebutnya satuan gugus tugas anti bullying di sekolah. Satgas ini memanfaatkan potensi keterbukaan siswa, sehingga ketika terjadi potensi bullying bisa segera dihindari. Sekolah punya konselor siswa," tandas Isa. Tak dapat dipungkiri, Kota Surabaya sedang menuju label kota layak anak dunia. Namun begitu, kasus kekerasan anak di Surabaya menjadi yang paling tertinggi se-Jatim. Oleh sebabnya, untuk menuju kota layak anak dunia, pemkot perlu meningkatkan sistem yang sudah terbangun. Dengan begitu, predikat tersebut menjadi layak disandang Kota Surabaya. "Surabaya sudah punya sistem yang berjalan. Modal dasar juga sudah ada, yaitu pernah menjadi kota layak anak utama selama 5 kali. Sistem ini sudah berjalan, tetapi sistem itu perlu dikuatkan lagi supaya bisa mendeteksi potensi kekerasan terhadap anak sejak dini," beber Isa, yang juga pemerhati pendidikan ini. Isa berharap, sebelum Kota Surabaya menyandang status sebagai kota layak anak dunia, sistem yang melibatkan unsur sekolah hingga lembaga pemerintah tersebut sudah terkolaborasi dengan baik. "Wali kota bisa menjadi komandan langsung dan ikut menginstruksikan. Mengingat dalam sistem pencegahan tersebut melibatkan beragam komponen. Jadi harus ada figur yang bisa memberikan arahan dengan konkrit," tandasnya. "Wali kota tidak harus hadir secara fisik, namun bisa melalui surat wali kota seperti edaran atau seruan instruksi kepada sekolah-sekolah, lurah, camat, dan kepala OPD. Tujuannya untuk lebih menguatkan lagi sistem perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak," tuntas Isa. (bin)
Sumber: