Terseret Kasus Suap, Keputusan Hakim Itong pada Kasus Lain Dipertanyakan

Terseret Kasus Suap, Keputusan Hakim Itong  pada Kasus Lain Dipertanyakan

Surabaya, memorandum.co.id  - Kasus suap perkara pembubaran PT Soyu Giri Primedika (SGP) yang melibatkan hakim nonaktif Itong Isnaini Hidayat dan Panitera Moh Hamdan, memunculkan polemik baru. Pihak-pihak yang dirugikan merasa ada kejanggalan dalam putusan perkara  lain yang disidangkan oleh hakim dan panitera Pengadilan Negeri Surabaya itu. Salah satunya yaitu dari pihak Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS). Pada 2021, Yayasan CHHS menghadapi gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Mulya Hadi dkk atas kepemilikan tanah seluas 3.150 meter persegi di Kelurahan Lontar. "Saat itu yang menyidangkan perkara klien kami adalah Itong selaku ketua majelis hakim dan paniteranya Hamdan," tutur Ronald di kantornya, Rabu (27/7). Menurut Ronald, Yayasan CHHS telah menguasai tanah tersebut selama puluhan tahun berdasarkan beberapa sertifikat HGB. "Sejak dekade 1990-an klien kami telah memiliki dan menguasai tanah tersebut yang berada di Kelurahan Lontar (yang tadinya termasuk wilayah Kelurahan Pradah Kali Kendal)," jelasnya. Lebih lanjut Ronald mengungkapkan, adanya beberapa kejanggalan saat perkara gugatan kliennya tersebut. Pertama, pengadilan gugatan itu berlangsung sangat singkat, tidak sampai sebulan (13 April-11 Mei 2021). "Pihak yayasan tidak mengetahui tentang putusan tersebut. Karena digugat tanpa sepengetahuan tergugat. Selain itu klien kami tidak pernah menerima panggilan sidang tersebut,” ungkap Ronald Talaway. Dalam amar putusannya, kata Ronald, hakim menyatakan yayasan melakukan perbuatan melanggar hukum (PMH) sebagaimana isi gugatan Mulya Hadi dkk. "Putusannya verstek. Hakim menyatakan pihak yayasan kehilangan haknya dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar kepada Mulya Hadi dkk penggugat. Semua barang bukti belum pernah diperiksa, sehingga semuanya merupakan bukti baru,” kata Ronald. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, sambung Ronald, pihak Yayasan CHHS mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. “Kita juga sudah menerima kontra memori peninjauan kembali yang diajukan pihak Mulya Hadi dkk,” imbuhnya. Ronald membeberkan bahwa merunut data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) di Pengadilan Negeri Surabaya,  kasus ini disidangkan dengan nomor perkara 346/Pdt.G/2021/PN Sby. Yayasan yang telah menguasai tanah tersebut dengan 4 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dikalahkan oleh hakim dari gugatan Mulya Hadi dkk yang hanya berdasarkan Petok D. "Tidak hanya dalam kasus tanah yayasan, dari data SIPP PN Surabaya juga diketahui bahwa pemilik bidang tanah yang berdampingan di lokasi yang sama juga menghadapi gugatan dari pengugat yang sama," ucapnya. Ronald menyampaikan jika sebelum lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA), letter C/girik/petok D diakui sebagai bukti yang sah atas tanah. Namun, setelah UUPA terbit, sertifikat merupakan bukti kepemilikan yang lebih kuat. "Status petok D tidak ubahnya seperti girik/letter C yang dianggap sebagai bukti pembayaran pajak saja, namun bukan bukti kepemilikan," kata Ronald. Terkait Mulya Hadi dkk mengajukan bukti surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah atau sporadik (diketahui Lurah Lontar tanggal 5 Desember 2016), Ronald menegaskan bahwa kliennya sudah menguasai sejak dari dulu. “Padahal sejak dulu tanah itu dikuasai yayasan dan bahkan disewakan buat penitipan peralatan berat oleh Wijaya Karya sampai 2021," ujarnya. Sementara itu, perihal tertangkapmya Itong oleh KPK dalam kasus suap perkara lain, Ronald mengatakan tetap saja pihak yayasan tetap dirugikan. "Putusan perkaranya yang merugikan yayasan sudah dibacakan. Hakim ketua tersebut terlibat kasus korupsi, meski hal itu bukan 100 persen bukti yang relevan,” katanya. Terpisah, Humas PN Surabaya dikonfirmaso terkait tidak adanya panggilan relaas terhadap pihak tergugat mengatakan harus melakukan pengecekan. "Mesti ngecek relaas panggilan yang ada dlm berkas," ucapnya. Sementara itu, Mulyadi pengacara Itong yang mendampingi kasus suap menegaskan tidak bisa berkomentar. Sebab, perkara dengan CHHS tidak masuk dalam perkara yang sedang dia tangani saat ini. "Saya tidak bisa komentar. Sebab tidak masuk dalam perkara yang sedang saya tangani. Memang ada tiga kasus yang dirangkai jaksa KPK. Kalau itu (perkara) masuk," tegasnya. Sedangkan Yohanes Dipa, kuasa hukum Mulya Hadi ketika dikonfirmasi terkait PK yang diajukan oleh pihak CHHS telah lewat masa tenggang. "Bukti-bukti yang dianggap sebagai novum oleh pemohon PK juga sudah pernah diajukan oleh turut termohon PK sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai novum," tandasnya. (jak)

Sumber: