Kisah Cinta yang Yatim Piatu sejak Balita (5)
Harapan baru berkembang seiring langkah Toni. Harapan untuk saling memiliki, walau itu terasa sayang tidak masuk akal dan khayal. Hari itu mereka menjalani kebersamaan seperti suami-istri. Suami-istri sungguhan. Tidak ada kecanggungan. Toni langsung memeluk mesra Cinta, cipika-cipiki, dilanjut kecup bibir dan kecup kening. Sungguh membahagiakan. Hidup terasa begitu sempurna. Kalau memungkinkan, Cinta ingin berteriak, “Oe, lihat kami. Kami bahagia. Oe, lihat kami, lihat kami.” Tapi, itu tidak mungkin dilakukan. Norak. Itu hanya terjadi dalam bayangan. Pada khayal. Cinta hanya membalas pelukan Toni. Erat-erat. Rasanya tidak ingin melepaskan, tapi justru ingin memersatukan tubuh. Hem! Pertemuan hari itu benar-benar berakhir dengan jalinan cinta kasih suami-istri. Paham kan? Karena itu, Cinta sengaja tidak menuliskannya di sini. Horor. Mesum. Parno. Nanti malah membuat iri pembaca. Intinya: Cinta merasa bahagia. Toni pun bahagia. Sejak hari itu waktu berjalan penuh warna. Selain kedatangan bersama Nia, seminggu atau dua minggu sekali, sepertinya Toni menjadwalkan waktunya untuk bisa sendirian menemui Cinta di vila. Awalnya seminggu sekali di luar waktu kunjungan bersama Nia. Hingga suatu hari Toni bertanya, “Andai aku ke sini tiga hari sekali, Cinta tidak keberatan?” Keberatan? Menemui Toni? Tiga hari sekali? Aduh… dari mana sih Toni punya pemikiran seperti itu? Tentu saja sebaliknya. Cinta akan sangat senang dan dengan terbuka menyambut. Seterbuka-bukanya. Luar-dalam. Sesuai permintaannya, Toni menepati janji. Tiga hari sekali datang. Tentu saja Cinta makin bersemangat memberikan sambutan. Mereka semakin dekat. Seolah tidak ada yang bisa memisahkan. Di sisi lain, meski semakin hari rasa benci kepada Nia semakin besar, hati kecil Cinta berkata lain. Bahwa dia merasa bersalah telah merebut separuh belahan hatinya. Anehnya, semakin dekat dengan Toni, semakin merasa bersalah kepada Nia, semakin besar pula semangatku untuk memiliki Toni. Secara utuh. Gila, memang. Tapi, perasaan itu tidak mampu aku hilangkan. Pada suatu malam saat mereka usai full happy, Cinta iseng—sebenarnya sengaja sih—bertanya kepada Toni, “Mas Toni sayang nggak sama Cinta?” “Sangat sayang,” balas Toni saat itu. “Dibanding rasa sayang Mas Toni ke Mbak Nia?” Toni diam. Dia memainkan ujung selimut yang menutup tubuh. Tiba-tiba dia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan tapi dengan berat. (jos, bersambung)
Sumber: