Usai Jalan Kaki ke Istana, Tiga Warga Lumajang Wadul Polda Jatim

Usai Jalan Kaki ke Istana, Tiga Warga Lumajang Wadul Polda Jatim

Surabaya, memorandum.co.id - Tiga warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, mendatangi Gedung Ditreskrimsus Polda Jatim, Senin (18/7/2022) siang. Tiga orang yang tergabung dalam Paguyuban Peduli Erupsi Semeru tersebut melaporkan perusahaan tambang pasir. Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Windy Syafutra membenarkan adanya laporan pengaduan kasus tersebut. Saat ini, pihaknya masih memeriksa saksi. "Iya (ada laporan). Ini masih periksa saksi pelapor. Saksi pelapornya juga belum datang semua," kata Windy, Senin (18/7). Dalam kasus ini, mereka melaporkan perusahaan tambang pasir dan pihak terkait atas dugaan penambangan yang dirasa melanggar prosedur pelaksanaan penambangan pasir Gunung Semeru tepatnya di Kali Regoyo, Desa Sumberwuluh, Candipuro, Lumajang. Mereka masing-masing Nor Holik, (41), Masbud (36), dan Supangat (52). Beberapa waktu lalu, mereka juga telah berupaya melaporkan kerusakan lingkungan itu ke Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta. Tak tanggung-tanggung, mereka nekat berjalan kaki dari Lumajang ke Jakarta sejak Selasa (21/6) hingga Senin (11/7). Perusahaan yang dilaporkan itu diduga tak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan keamanan warga yang bermukim di sekitar lokasi penambangan. Kuasa Hukum warga Dimas Yemahura Alfarauq mengatakan, untuk laporan terkait kasus tersebut sudah diterima dan ditangani Unit II Subdit IV Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Ditreskrimsus Polda Jatim. Pihaknya menyebut, kedatangannya ke Polda Jatim Senin (18/7) untuk memenuhi panggilan pemeriksaan klarifikasi terkait laporan pengaduan tentang dugaan aktivitas pertambangan pasir di Desa Sumberwuluh, Candipuro, Lumajang. "Yang kami tahu kemarin terdampak letusan dari Gunung Semeru. Yang menjadi titik berat kami adalah adanya dugaan aktivitas pertambangan ilegal dalam arti izin ada tapi dalam prosedur penambangan tak dilakukan sesuai prosedur," kata Dimas. Sehingga, lanjut Dimas, akibat aktivitas pertambangan yang tak sesuai prosedur itu menyebabkan kerusakan lingkungan yang dibuktikan dengan adanya erupsi Semeru. "Ini adalah warga Lumajang yang rumahnya tertimbun erupsi Semeru dan kehilangan sanak keluarga," kata dia. Menurut Dimas, sebelum kejadian pihak warga, mengingatkan pihak perusahaan penambang pasir yang membuat bendungan membentang di sungai sekitar. Sehingga menghalangi aliran sungai. "Karena adanya bendungan yang melintang, akhirnya air meluber ke permukiman warga menyebabkan rumah tenggelam. Bahkan menyebabkan kehilangan nyawa. Ada 133 rumah warga tenggelam di dua dusun," ungkap dia. Dalam kasus ini, terlapor adalah perusahaan tambang pasir dan pihak terkait. Hal itu dibuktikan juga saat terjadi erupsi. Perusahaan tersebut seolah tidak mengindahkan peringatan BMKG. Mereka bahkan tetap terus beroperasi. "Sehingga menyebabkan mereka pekerja (perusahaan) meninggal tenggelam. Nanti mungkin menyusul keluarganya akan jadi saksi. Seperti, suaminya (salah satu warga) saat itu kerja sampai sekarang belum ketemu jasadnya. Dan sampai sekarang tidak ada pertanggungjawaban dari  perusahaan tersebut," tegas dia. Akibat aktivitas pertambangan yang diduga menyalahi prosedur tersebut 133 rumah warga tenggelam. Kerugian ditaksir sekitar Rp 10 miliar lebih. "Kalau dikatakan itu bencana, memang bencana. Cuma, ini memang dampak aktivitas pertambangan yang diduga tidak berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan hilangnya nyawa tempat tinggal," pungkas dia.(fdn)

Sumber: