Kredit Macet Rp 60 M di Bank Pemerintah, Kejari Perak Tunggu Fakta Persidangan

Kredit Macet Rp 60 M di Bank Pemerintah, Kejari Perak Tunggu Fakta Persidangan

Surabaya, Memorandum.co.id - Kasus korupsi di bank pemerintah yang merugikan negara sebesar Rp 60,2 miliar saat ini masih didalami oleh penyidik pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak. Meski telah menahan dua tersangka yakni Komsatun dan David Chow, pihak kejaksaan tetap ingin membuka lebar kasus ini. Menurut Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Tanjung Perak, Mochammad Ali Rizza, pendalaman kasus kredit macet tersebut berkaitan dengan keterlibatan pihak bank pemerintah yang meloloskan pengajuan kredit. "Masih kita gali (keterlibatan pihak bank)," tutur Kasipidsus saat dikonfirmasi Memorandum, Senin (20/6). Saat disinggung perihal adanya tersangka baru khususnya dari pihak bank pemerintah, Ali Rizza mengatakan masih menunggu hasil audit dari PPATK. "Kita masih menunggu PPATK dan fakta sidangnya seperti apa," ucapnya. Sementara itu, untuk perkembangan dua tersangka yang telah dilimpahkan pada pekan lalu, menurut Ali Rizza segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Masih kita persiapkan untuk pelimpahannya," tandasnya. Untuk diketahui, kasus dugaan korupsi yang menimbulkan kerugian negara miliaran rupiah ini bermula ketika PT HKM mengerjakan proyek pembangunan 31 gudang, di Business Central 99 pada 2014. Terhadap pelaksanaan kegiatan proyek tersebut, PT HKM kemudian mengajukan kredit sebesar Rp 77 miliar ke bank pelat merah. Terhadap permohonan kredit yang diajukan PT HKM tersebut, pihak kemudian menyetujui dengan mencairkan dana segar senilai Rp 50 miliar. Setelah pencairan dana tersebut, oleh PT HKM ternyata tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya. Hal ini menyebabkan pembangunan 31 unit gudang tidak selesai. Sehingga pada Maret 2016 pihak bank menyatakan kredit PT HKM dalam posisi outstanding atau macet. Terkait dengan modus para tersangka, Kasna mengungkapkan bahwa permohonan kredit tersebut dijalankan dengan menggunakan dokumen palsu. Baik di saat permohonan maupun pencairan. Selain itu keduanya juga menggelembungkan (mark up) anggaran mencapai Rp 77 miliar saat proses pengajuan pinjaman ke bank. Dari hasil audit BPK, kerugian negara dalam perkara ini sebesar Rp 60 miliar lebih. (jak)

Sumber: