Menjemput Pemegang Kunci Surga di Jalur Gaza

Menjemput Pemegang Kunci Surga di Jalur Gaza

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Ustaz Azis, sebut saja begitu, beberapa pekan lalu mengisi tausiah di sebuah masjid di Wiyung. Ada pertanyaan menarik yang dia sampaikan kepada jemaah ibu-ibu. Begini: adakah di antara Ibu-Ibu yang rela suaminya nikah lagi? Tanpa ada yang menduga seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun mengacungkan jari. "Saya Ustaz," ujar perempuan itu, sebut saja Munawaroh. Beberapa jemaah pria bertepuk tangan, sementara ada satu-dua jemaah perempuan berucap, "Wuuu..." Namun, suara itu segera tenggelam oleh sahutan Munawaroh yang bersuara lantang, "Abah pernah kutantang, tapi beliau mengaku tidak berani." Seluruh jemaah memandang ke satu titik, tempat H Mukmin (samaran) duduk bersila. Dia adalah suami Hj Munawaroh. Lelaki paruh baya yang rambutnya masih hitam legam itu hanya tersenyum. "Boleh saya menanggapi Ustaz?" "Silakan. Ini amat menarik. Lihat, semua jemaah fokus ingin mendengar tanggapan Abah Mukmin" Suasana senyap. Tapi mencekam. Seluruh mata memandang H Mukmin. "Saya takut. Saya khawatir tidak dapat berbuat adil," kata bapak dua anak tersebut. "Bagaimana pendapat Bu Hajah?" "Selama ini Abah tidak pernah berbuat tidak adil kepada saya dan anak-anak. Beliau justru pandai membahagiakan kami bersama." Suasana senyap makin pucat. "Apakah Bu Hajah punya calon untuk Abah?" desak Ustaz Azis. "Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menyampaikan bahwa tujuan saya mendorong suami menikah lagi adalah ingin belajar ikhlas. Saya ingin belajar langsung dari sumbernya. Jadi, tantangan ini disertai syarat dan ketentuan (SDK, red) berlaku." "Maksud Bu Hajah?" "Saya mendengar di Jalur Gaza ribuan anak dan janda butuh uluran tangan. Saya ingin belajar ikhlas dari mereka. Saya ingin Abah menikahi janda mujahid dan mengadopsi anak-anaknya untuk kami. Untuk Abah sendiri, untuk saya, dan untuk anak-anak kami. Saya ingin mereka membukakan pintu surga bagi kami." Tidak ada yang bersuara. Termasuk Ustaz Azis. Mereka tampaknya tenggelam dalam samudera bayangan masing-masing. Tidak lama kemudian H Mukmin berdiri. Matanya berair. Sambil mengusap pipinya yang basah, dia berkata lirih, "Akan kuwujudkan impian itu." (*)  

Sumber: