Berturut-turut Ditinggal Ibu dan Bapak Menghadap-Nya

Berturut-turut Ditinggal Ibu dan Bapak Menghadap-Nya

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Aku anak tunggal. Ibu mendahului kami saat aku baru lulus SD. Maka, tinggallah kami berdua, aku dengan Bapak. Itu pun tidak lama. Tiga tahun kemudian Bapak menyusul Ibu. Sebelum Bapak meninggal, dalam kondisi kritis beliau menitipkan aku kepada Tante Yuni. Dia bukan famili atau kerabat. Kata Bapak, Tante Yuni adalah sahabat dekatnya waktu SMA dan kuliah. Tante Yuni orangnya baik. Walau sebelumnya tidak pernah bertemu, kami cepat akrab. Waktu itu usianya 40 tahun, sepantaran dengan Bapak. “Yun, aku titip Budi. Didik dia seperti anakmu sendiri. Dia sudah tidak punya siapa-siapa,” kata Bapak di sela sengal napasnya sambil berbaring di ranjang rumah sakit. Setelah Bapak meninggal, aku memang tidak lagi memiliki keluarga. Bapak dan Ibu adalah anak tunggal, dan masing-masing keluarga mereka sudah tidak ada yang tersisa. Semua rara-rata meninggal pada masih belia. Di bawah 50 tahun. Tante Yuni sendiri seorang janda. Almarhum suaminya adalah pengusaha sukses yang memiliki jaringan rumah makan dan penginapan syar’i hampir di seluruh kota besar tanah air. Sayang, kesuksesan di bidang ekonomi itu tidak dibarengi keberuntungan dalam berumah tangga. Lebih dari 20 tahun mengarungi mahligai rumah tangga, tidak sapu pun mereka dikaruniai momongan. Suami Tante Yuni juga bersahabat akrab dengan Bapak. Semasa SMA mereka bertiga dijuluki trio gantik karena ganteng-ganteng dan cantik. Aku yang selama ini bersekolah di SD dan SMP negeri, oleh Tante dibelokkan ke perguruan Muhammadyah. Tentu saja aku gelagapan karena selama ini tidak pernah serius mempelajari agama. Apalagi baca-tulis huruf Arab. Beruntung Tante Yuni sabar. Aku dileskan baca-tulis Alquran di rumah. Privat. Dalam kurun tidak lebih dari tiga bulan aku sudah mampu membaca Alquran dengan lancar. Lengkap dengan tajwid-nya. Walau tidak memiliki fisik sempurna, orang-orang bilang otakku sangat encer. Di atas rata-rata. Kedua kakiku cacat sejak lahir sehingga aku harus menjalani semua aktivitas di kursi roda. Yang aku salut terhadap Tante, walau mengetahui aku menderita disabilitas, dia tidak pernah memperlakukan aku sebagai oang cacat. Tante bahkan terkesan agak memaksa aku harus bisa melakukan semua secara mandiri. Mirip dengan sikap almarhum Bapak. Tegas dan tidak ada tolesansi. Berbeda dengan almarhumah Ibu yang sedikit-sedikit selalu membantu. Secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi bila ada Bapak. Contohnya waktu aku mendapat tugas membuat keterampilan membangun replika Menara Eifel waktu kelas empat SD. Bahan baku pekerjaannya jatuh ke lantai. Aku kesulitan mengambilnya. Bapak tahu itu, tapi Beliau pura-pura tidak melihat dan membiarkan aku mengambilnya sendiri. Kebetulan Ibu lewat dan mengambilkannya untukku. “Jangan. Budi harus berusaha mengambilnya sendiri. Entah bagaimana cara dia. Kita tidak selamanya ada untuk dia,” kata Bapak. Datar. Waktu itu jujur saja aku sempat menganggap Bapak jahat. Tapi seiring waktu, aku menyadari bahwa itulah cara Bapak mendidik aku mandiri. Dan ternyata jitu. Walau menyandang disabilitas, aku tidak pernah bergantung kepada siapa pun. Hingga kini. (bersambung)

Sumber: