Prof Mulyadi Dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Unusa Pertama

Prof Mulyadi Dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Unusa Pertama

Surabaya, memorandum.co.id - Selama pandemi Covid-19, hampir semua pendidik mengkhawatirkan tentang proses pembelajaran, tak terkecuali di kalangan dosen. Kekhawatiran itu pula lah yang diungkapkan oleh Prof Dr Mulyadi dr SpP(K) FISR, guru besar pertama Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi, Jumat (15/10/2021). Dalam pidato pengukuhan yang diberi judul Tantangan Pendidikan Dokter serta Rumah Sakit Pendidikan dalam Pandemi Covid-19, Prof Mulyadi mengatakan, kompetensi seorang dokter secara sederhana dapat dipilah dalam beberapa kategori: harus diketahui (must know), sebaiknya diketahui (should know), dan baik untuk diketahui (nice to know). "Saat pandemi Covid-19 dan mengacu pada Surat Edaran Kementerian Nomor 1 tahun 2020 tentang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dari rumah, telah mengurangi kesempatan mahasiswa pendidikan profesi dokter dapat berinteraksi dengan pasien. Ini telah mengusik nurani saya terhadap pendidikan dokter," katanya. Dikatakan guru besar kelahiran Trieng Meduro, Sawang, Aceh Selatan, pada 19 Agustus 1962 ini bahwa dalam menghadapi keadaan pandemi, para pendidik kedokteran diharuskan untuk menggunakan sistem berbasis teknologi dan simulasi melalui daring. “Ini merupakan tantangan sekaligus pertaruhan. Mengingat prinsip utama dalam pendidikan kedokteran yakni, prinsip pengajaran klinis ideal yang tidak dapat digantikan adalah tidak ada guru yang lebih baik selain pengalaman langsung menghadapi pasien," tegasnya. Suami dari Dr Arti Lukitasari dr SpM ini menjelaskan, kegiatan pedagogis dengan memakai simulasi dan inovasi teknologi selama pandemi seperti kuliah daring, atau simulator virtual webcasting serta diskusi ruang daring, dinilai telah menghilangkan, setidaknya mengurangi esensi pendidikan yang bertujuan menghasilkan seorang dokter yang sesuai dengan panduan pendidikan dokter Indonesia. Menurutnya, regulasi yang membatasi hubungan antara peserta pendidikan dokter dengan pasien pada masa pandemi merupakan dilema. Karena seorang dokter kelak akan menghadapi orang yang sakit, sesuai tingkat kompetensinya. "Ke depan, merupakan suatu keniscayaan agar mahasiswa pendidikan profesi dokter untuk terlibat dan ikut melihat pasien yang nyata di rumah sakit dengan alat pelindung diri maksimal, serta mengikuti protokol kesehatan," ulasnya. Berangkat dari sini, menghadapi pandemi Covid-19, dengan mengacu pada regulasi Kementerian, Fakultas Kedokteran (FK) Unusa telah melakukan beberapa inovasi berbasis teknologi yang tersedia saat ini. Sehingga pendidikan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dengan berusaha agar kompetensi yang diharapkan tetap dapat dimiliki setiap peserta didik yang akan dievaluasi pada tahap akhir pendidikan. Dikatakannya, sebagai salah satu Fakultas Kedokteran yang masih baru, FK Unusa telah memulai langkah awal yang sangat baik dan patut disyukuri. Termasuk evaluasi akhir Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang pertama kali diikuti oleh mahasiswa FK Unusa telah menghasilkan tingkat kelulusan mencapai 100%. Terkait dengan bidang ilmu pulmonologi dan kedokteran respirasi, yang mengantarkan Mulyadi memperoleh guru besar, ayah dari dua orang anak yang semuanya juga berprofesi sebagai dokter ini mengatakan, berkembangnya teknologi transportasi yang berakibat pada arus komoditas trans nasional baik barang, manusia dan hewan, telah memunculkan berbagai masalah kesehatan. Termasuk kesehatan respirasi menjadi tantangan tersendiri. Sehingga risiko penularan berbagai macam penyakit akan semakin tinggi. Pada dekade pertama abad 21, lebih dari dua miliar orang bepergian dengan pesawat terbang. Ini menjadi salah satu risiko penyebaran penyakit secara transnasional. Sehingga berakibat wabah dan pandemi. "Sejak tahun 1940 terdapat hingga 60% dari 400 penyakit infeksi emerging pada manusia. Termasuk, penyakit sistem respirasi, dan akan terus menjadi tantangan besar sistem kesehatan masyarakat," jelasnya. Diungkapkan Prof Mulyadi, berdasarkan laporan tahunan tuberkulosis yang diterbitkan pada masa era Sustainable Development Goals (SDGs) dan di masa End TB Strategy, menempatkan Indonesia bersama beberapa negara lain (India, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan) secara bersama-sama penyumbang 60% kasus baru tuberkulosis. Kasus tuberkulosis bukan hanya karena kemiskinan, akibat tuberkulosis yang berkepanjangan menambah serta memperberat kemiskinan itu sendiri. Dalam skala mikro rumah tangga, pasien tuberkulosis dapat kehilangan hingga 3 - 4 bulan kerja efektif, serta menghabiskan hingga 30% biaya rumah tangga sehari-hari. "Ini jarang disadari dan masih berlangsung hingga kini di masyarakat kita. Setiap tahun beban ekonomi terkait akibat tuberkulosis yang ditanggung oleh negara miskin diseluruh dunia mencapai 12 miliar dollar AS," katanya. Prof Mulyadi berujar, ketika problem tuberkulosis belum selesai, kini muncul berbagai wabah dan mengakibatkan pandemi di berbagai belahan dunia, seperti SARS pada 2003, flu burung H5N1 serta MERS CoV pada 2016, serta Covid-19 yang saat ini sedang kita alami. Infeksi Covid-19 yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2) menjadi penyebab pandemi dan telah mengubah tatanan budaya serta kebiasaan hidup saat ini. "Kita menyaksikan bersama ketika dunia memulai tahun 2020 dengan pandemi kedua di abad ini. Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 25 juta diseluruh dunia dan terus berlanjut hingga kini," tuntasnya. (mg3)

Sumber: