Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (7 – habis)
![Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (7 – habis)](https://memorandum.disway.id/assets/default.png)
Gumilang lurus menatap wajahnya. Mendung yang kelam seakan terlihat bergantung di atas kepala Lembu Daksa.
“Aku kira tidak seorang pun di antara kita yang menghendaki keadaan seperti yang aku jalani saat ini,” kata Lembu Daksa kemudian. Bondan dan Gumilang bertukar pandang namun mereka tidak berkata-kata.
Lalu Lembu Daksa melanjutkan, ”Beberapa waktu terakhir aku sempat berpikir, apakah ini semua adalah balasan perbuatanku di masa lalu?” Ia memandang dua orang di dekatnya bergantian. Seolah ingin mendapatkan sebuah jawaban yang dapat membantunya dalam membuat keputusan.
Gumilang menarik napas dalam-dalam lalu berpaling pada Bondan, katanya, ”Aku tidak mempunyai pendapat yang dapat meringankan beban Lembu Daksa. Sementara aku sendiri tidak ingin menambah beban pikirannya.”
“Sebenarnya,” ucap Bondan dengan tarikan napas panjang, ”setiap orang akan terhubung dengan segala peristiwa yang dialaminya. Meskipun satu perbuatan telah dilakukan dalam waktu yang sangat lama di masa silam, namun perbuatan itu tetap mempunyai kemungkinan untuk membawa akibat di masa mendatang.” Bondan mengubah letak duduknya.
“Pada mulanya aku berpikir bahwa keputusanku untuk menjadi prajurit Majapahit adalah bagian dari baktiku pada ayah dan ibu. Dan aku juga meyakini bahwa hidup sebagai prajurit adalah bentuk lain dari perintah Yang Maha Kuasa,” kata Lembu Daksa lirih.
“Ia tidak pernah menyuruh seorang dari kita untuk menjadi orang yang selalu memegang senjata,” sahut Gumilang.
Lembu Daksa tersenyum. Ia mengerling pada perwira muda itu sambil berkata, ”Perintah itu memang tidak dinyatakan secara tegas. Tetapi aku melihatnya dari sisi yang berbeda. Menjadi prajurit adalah tugas kemanusiaan yang memang tidak dikatakan-Nya secara langsung.”
Mendengar penjelasan Lembu Daksa, Gumilang menganggukkan kepala kemudian tanggapnya, ”Maka dengan begitu tidak ada kesalahan yang kau perbuat di masa lalu.”
”Tidak semudah itu, Ki Rangga.” Ia memijat dua keningnya, sementara wajah Lembu Daksa semakin kelam tertutup mendung hitam. Permasalahan yang ia hadapi membuat sesak dalam dadanya. Kecemerlangan nalar dan ketajaman pendapatnya seolah menemui jalan buntu. Lembu Daksa terbayang raut wajah ayah dan ibunya. Masa-masa saat ia bermain dengan ayahnya dan kenangan bersama ibunya melintas sangat jelas dalam benaknya. Berulang kali terdengar napas panjang Lembu Daksa yang seperti sedang menyingkirkan sebongkah batu yang menyesakkan dadanya.
“Entahlah,” Lembu Daksa bergumam lirih. ”Aku tidak mengerti akhir dari pertempuran esok hari.”
“Lembu Daksa.” Tangan Bondan menepuk bahu lelaki muda di depannya. ”Aku kira setiap keputusan dan perbuatan yang kita lakukan di masa silam selalu mempunyai kebenaran. Hanya saja, kebenaran itu sendiri akhirnya dapat berubah menjadi kesalahan di masa berikutnya.”
Lembu Daksa menatapnya tajam. Lalu bertanya, ”Apakah itu berarti kau katakan aku bersalah dengan menjadi seorang prajurit?”
“Bukan, bukan seperti itu,” jawab Bondan. “Bahkan aku pikir tidak ada yang dapat disalahkan dalam permasalahan yang kau hadapi sekarang.”
Baca Juga :
Baca Juga :
Sumber: