Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (4)

Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Pertama (4)

Para pemimpin kelompok telah berhadapan dengan lawan yang seimbang. Dua pasukan sehamparan tebasan parang itu saling menekan dan saling mendesak. Dua kelompok besar itu sama-sama merasakan bahwa lawan mereka adalah kekuatan yang seimbang. Demikianlah pertempuran itupun meningkat makin sengit. Perlahan, di bagian sayap yang dipimpin Ra Caksana, yang membayangi Warastika, sedikit banyak dapat menekan pasukan Ubandhana. Ubandhana yang sedang terkepung itu melenting tinggi melampaui kepala para pengepungnya dan mendarat di tengah-tengah pasukannya. “Gila! Kita menghadapi dua pasukan yang gila. Pecah barisan dan beberapa orang ikuti aku membelah dari tengah ke dalam gelar mereka,” bisik Ubandhana pada Pragola yang bertempur di sisinya. Pragola lantas meneriakkan sejumlah aba-aba yang kemudian diikuti perubahan gelar dalam kelompok kecil mereka. Sedikit demi sedikit perubahan gelar yang dilakukan Pragola dapat membebaskan pasukannya dari tekanan Warastika dan Ra Caksana.  Meskipun begitu, baik Pragola maupun Ubandhana masih belum sepenuhnya lepas dari tekanan orang-orang Majapahit. “Ubandhana, bukalah jalan untukku. Aku akan melawan pemimpin kelompok yang datang belakangan,” kata Pragola sambil menunjuk ke arah Ra Caksana. Sambil menggeleparkan tombak pendeknya, Ubandhana menyahut, ”Baiklah.” Dalam sekejap, tombak Ubandhana menerjang ke berbagai arah. Ujung tombaknya telah melempar dan melukai prajurit Majapahit yang berada dalam jangkauannya. Ia banyak membunuh orang-orang Sumur Welut. Pragola yang mengikutinya dari belakang kemudian melayang mendekati pemimpin lawannya dengan tubuh berputar cepat sambil  menusuk dada Ra Caksana. Segera Ubandhana menerjang Warastika setelah memastikan Pragola menguasai keadaan Ra Caksana. Matahari perlahan-lahan mengambil tempat di punggung perbukitan.

Baca Juga :

Dalam keadaan seperti itu, pergerakan pasukan yang saling menggeser berdesakan ataupun saling mengisi kekosongan celah kosong gelar perang terlihat seperti gelombang besar di samudera. Prajurit yang agak segar mulai menggantikan kawannya yang beringsut ke garis belakang untuk sekedar istirahat. Aliran prajurit dari kedua pasukan ini mulai merembes ke segala arah. Mereka masih terus menerus bergerak dan berpindah, mengikuti aba-aba pemimpin kelompok atau senapati sayap. Di barisan depan kedua pasukan tampak pergeseran susunan barisan yang menjadi bagian gelar perang. Di antara mereka juga terdapat beberapa prajurit yang secara khusus bertugas merawat kawannya yang terluka. Sebagian orang tampak hilir mudik mempersiapkan makanan dan minuman bagi para prajurit. Pada kedua ujung sayap kedua gelar perang itu pun terjadi benturan-benturan yang tak kalah dahsyatnya. Namun seiring dengan pergeseran waktu maka semakin banyak pula prajurit yang tidak tuntas melaksanakan tugasnya. Tubuh para prajurit banyak tergeletak membujur melintang di medan perang. Sebagian prajurit yang merupakan kawannya berusaha membawa mereka ke garis belakang agar tidak terinjak namun tak jarang kesemepatan itu telah tertutup. Prajurit dari kedua pasukan ini sudah berusaha untuk bertahan hidup. Gelar kedua pasukan mulai menyusut. Rasa lelah mulai menghampiri para prajurit dan segenap orang yang terlibat dalam pertempuran besar itu. Keringat dan darah kedua pasukan sehamparan tebasan parang ini mulai membasahi bumi. Tanah yang mereka pijak semakin membara seiring dengan mulai redupnya sinar matahari . Sementara itu di bagian tengah lapangan yang luas itu, para pengiring Mpu Drana masih berusaha membatasi pasukan Ki Sentot yang giat membuka jalan gajah. Sewaktu kebisingan dentang senjata dan suara orang-orang yang saling menimpali, Mpu Drana segera membawa para pengiringnya ke seekor gajah yang terdekat dari tempatnya. Mpu Drana dengan tangkas mengurai sebatang cambuk yang panjangnya lebih dari dua tombak. Seraya memutar-mutar cambuk di atas kepalanya, Mpu Drana yang semakin dekat dengan gajah itu tiba-tiba melecutkan cambuk pada prajurit yang berada di atas punggung gajah. Jerit tertahan terdengar ketika ujung cambuk membelitnya lalu melemparnya dari punggung gajah. Sekali lagi sebuah keluhan terdengar ketika Mpu Drana  menyengatkan ujung cambuknya pada seseorang yang memegang busur di atas punggung gajah. Berturut-turut cambuk Mpu Drana menyambar-nyambar dengan diiringi suara ledakan yang menggetarkan dada yang kemudian satu demi satu penunggang gajah terlempar. Hingga kemudian, seorang serati memerintahkan gajahnya untuk maju dan belalai gajahnya menebas kuda Mpu Drana. Mpu Drana menghentakkan kudanya ke samping dan ketika cambuknya memutar tiba-tiba terdengar lengking orang kesakitan. Pada mulanya serati itu menyadari serangan Mpu Drana ketika melihat ujung cambuk itu menyasar kakinya. Namun ia terlambat menghindari karena ujung cambuk itu mematuk sangat cepat. Pergelangan kakinya yang terbelit ujung cambuk telah menjadi gangguan baginya, maka, terpaksa atau tidaj, serati harus berupaya melepaskan kakinya dari belitan cambuk atau terjatuh menyusul teman-temannya yang lain. Tetapi serati itu sepertinya seorang yang keras kepala. Ia justru berusaha mengarahkan gajah untuk mengejar Mpu Drana tetapi usahanya menjadi sia-sia. Menyadari serati itu tak segera terseret jatuh maka seorang pengiring Mpu Drana yang mengetahui itu segera melontarkan tombak. Serati itu terjengkang dengan tombak menancap pada tubuhnya. Ketika tidak ada orang yang tersisa di atas punggung gajah, Mpu Drana segera berkuda di samping gajah dan melayang ringan ke atas punggung gajah untuk mengendalikannya. Barisan depan pasukan Ki Sentot mulai terkoyak oleh derap gajah yang dikendalikan oleh Mpu Drana. Gajah berbalik arah, melibas pasukan yang berada di dua sisinya, kemudian menabrakkan diri pada gajah tanpa penunggang yang tak jauh darinya. Beberapa anak panah melesat ke arah Mpu Drana tetapi putaran cambuknya seperti dinding tebal yang mebungkus dirinya. Setiap anak panah yang terlontar luruh ketika membentur dinding cambuk.

Baca Juga :

Seorang pemimpin pasukan, Ki Lurah Jayapawira, yang menempati sayap kanan pasukan Sumur Welut berusaha mendesak lambung kiri pasukan Ki Sentot yang dipimpin Gajah Praba. Senapati yang berusia cukup muda ini terlihat tenang dan mapan dalam memimpin pasukannya. Gajah Praba sama sekali tidak terpengaruh dengan desakan Ki Jayapawira yang telah mengerahkan seluruh kekuatan prajuritnya. Justru yang terjadi adalah prajurit Gajah Praba mulai menyusup menembus benteng pertahanan senapati lanjut usia itu. Sebagai orang yang telah melewati banyak pertempuran, Ki Lurah Jayapawira merasa cemas dengan perkembangan yang terjadi dalam pasukannya. “Anak muda itu sangat tenang dan mapan. Aku akan menghampirinya, dengan begitu ia akan memecah perhatian. Jika ini berhasil, aku harap kedudukan menjadi seimbang,” kata Ki Lurah Jayapawira dalam hati. Kemudian ia berkata, ” Hey! Kemarilah. Kamu akan menemukan lawan sepadan disini. Orang tua yang masih ingin melihat matahari esok.” Gajah Praba pun melihat seorang lelaki setengah baya yang memutar senjata berupa tombak pendek tengah menyibak kerumunan prajurit yang sedang bertempur. Beberapa prajuritnya terlempar ketika Jayapawira mulai menyibak dan memutar senjatanya dengan dahsyat. “Orang tua tak tahu diri. Setiap nyawa prajuritku harus dibayar olehnya,” desis Gajah Praba. Percikan darah yang tampak pada raut muka Gajah Praba membuatnya terlihat bengis. Sekalipun begitu, Gajah Praba tidak menunjukkan luapan perasaannya melihat anak buahnya terlempar dan tak berkutik oleh sabetan tombak Jayapawira. Gajah Praba telah berada dalam keputusannya. Ia tak ingin prajuritnya menderita lebih lama karena putaran senjata senapati yang berada di sebelah depannya, Gajah Praba melayang melewati bahu-bahu prajurit yang bertempur di hadapannya. Dari jarak sekitar tiga tombak, tubuh Gajah Praba meluncur cepat dan tangannya mengayun-ayunkan tombak yang sedikit lebih panjang dari senjata lawannya. Jayapawira yang melihat bayangan melesat cepat menuju ke arahnya segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam sekejap mata, ujung tombak Gajah Praba meluncur deras ke bagian lehernya, dengan sigap Jayapawira menggeser tubuh ke samping lalu memukul lengan Gajah Praba. Gajah Praba berlekas menarik lengan, lalu membalasnya dengan tebasan mendatar ke arah dada Jayapawira. Sekejap kemudian, mereka terlibat dalam perkelahian sengit. Kedua tombak berayun-ayun, berputaran cepat dan saling menjulur serta saling menolak. Sesekali kedua senjata itu berbenturan keras hingga keduanya merasakan tangan masing-masing bergetar hebat. Punggung perbukitan mulai meredam panas matahari dengan kelam. Kekuatan kedua pasukan tampaknya belum berkurang cukup banyak. Meski demikian, jatuhnya korban adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Di setiap jengkal masih terdengar jerit kesakitan dan sorak sorai bila ada kemenangan kecil pada kelompoknya. Pertempuran masih menggelora dan semangat masih menyala pada setiap dada prajurit dari dua pasukan besar itu. (bersambung)

Sumber: