Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (9)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (9)

Di waktu yang bersamaan dengan perang kecil untuk membebaskan Arum Sari, sepeninggal Ki Cendhala Geni, Kahuripan berada dalam keadaan mencekam. Gajah Mada yang telah berada di dalam kota segera menemui setiap prajurit yang setia pada Bhre Kahuripan. Beberapa pesan ia berikan kepada mereka. Di bawah mendung yang membayang dan keadaan kota yang mulai sunyi, sejumlah prajurit yang setia mulai bergerak melumpuhkan kawanan Ki Cendhala Geni. Sementara di luar dinding kota, pasukan berkuda Ki Nagapati telah mengepung di sebelah selatan Kahuripan. Beberapa kelompok pasukan lainnya telah bersiaga di bagian lain, mereka dibantu oleh pengawal-pengawal pedukuhan yang akhirnya tahu peralihan kekuasaan di kota. Rencana yang disiapkan Gajah Mada telah mempersempit ruang gerak para pemberontak yang terdiri dari kawanan penjahat dan prajurit yang tertipu oleh Ki Srengganan. Gajah Mada dan para prajurit yang setia pada Bhre Kahuripan dapat memecah belah pengikut Ki Srengganan. Kelompok Gajah Mada menggiring mereka ke sejumlah tempat di dalam kota, para pemberontak terdesak! Yang terjadi kemudian adalah mereka mengalir keluar melalui daerah yang dijaga oleh Ki Nagapati beserta pasukannya. Selain itu, pergerakan kawanan Ki Srengganan telah dapat dibatasi ketika mereka terkurung dalam barak. Itu dapat terjadi ketika Gajah Mada dan lurah prajurit lainnya mengubah jadwal ronda dan pengawalan. Dalam waktu itu, kawanan yang datang bersama Ki Cendhala Geni dan Ubandhana segera menyerahkan diri ketika menyadari kedua pemimpin mereka telah tidak terlihat bersama mereka. Sementara kawanan yang dapat keluar dari kota telah dihadang oleh Ki Nagapati beserta pasukannya. Tak pelak yang selanjutnya terjadi adalah pertempuran meletus di sekeliling tembok batas kota. Dari sisi utara kota, Ra Pawagal memimpin prajuritnya untuk membongkar gardu pertahanan yang lemah penjagaan. Mereka, dengan bantuan oleh Gajah Mada, pelan merambat masuk ke dalam istana Bhre Kahuripan “Hanya pasukan Ki Nagapati yang dapat memberiku rasa aman,” begitu kata Gajah Mada dalam hatinya. Pendapat itu tidak muncul begitu saja dalam pikirannya. Satu hal penting adalah pengikut Ki Srengganan yang keluar dari kota adalah bagian dari pasukan khusus Kahuripan. Bahkan sebagian adalah pasukan pengawal bhatara. Kelebihan pasukan khusus itu hanya dapat dibendung oleh pasukan Ki Nagapati, maka kekhawatiran Gajah Mada pun mempunyai dasar yang kuat. Dengan kehadiran Ki Nagapati di luar tembok kota, maka Gajah Mada tidak lagi cemas dengan serangan balik dari prajurit-prajurit yang berkemampuan tinggi. Sejenak Gajah Mada teringat usaha keras Ki Nagapati dalam meyakinkan raja bahwa Lembu Sora dan Gajah Biru tidak bersalah. Gajah Mada pernah mendengar Dyah Gitarja, penguasa Kahuripan, menceritakan upaya Ki Nagapati yang berusaha bertemu dengan Sri Jayanegara untuk terakhir kali.

Baca Juga :

* * * Beberapa pekan sebelum kedatangan Bhre Kahuripan di kotaraja, seorang lelaki yang memakai pakaian kebesaran memasuki halaman keraton Sri Jayanegara. Ia didampingi tiga orang yang juga mengenakan pakaian prajurit. “Ki Nagapati,” seorang penjaga regol halaman menyapa. Ki Nagapati membalasnya dengan anggukkan kepala. Raut wajah dengan garis-garis tegas yang terukir pada kulitnya menyebar kegagahan yang berbeda dengan pemimpin prajurit lainnya. Senyum di bibirnya juga tak pernah lepas setiap kali bertemu dengan prajurit yang berada di bawahnya. Ia begitu ramah namun sikap gagah dan berwibawa tampak dari bahasa tubuhnya. “Aku ingin bertemu dengan Sri Jayanegara,” kata Ki Nagapati kepada Pelayan Dalam. Lalu orang itu mendekati dan berbicara perlahan pada Ki Nagapati. Raut muka Ki Nagapati sedikit berubah dan tidak mengesankan bisikan itu adalah kabar yang enak didengar. Pelayan Dalam menyadari perubahan yang terjadi tetapi ia harus bersikap sebagaimana yang diperintahkan kepadanya. “Jika setiap jalan telah ditentukan arahnya, yang akan terjadi semestinya sudah dapat diketahui oleh raja. Apakah ia sudah mengetahui tentang tujuan orang itu?” bertanya Ki Nagapati. Pelayan Dalam menjawab dengan gelengan kepala. Lalu Ki Nagapati melanjutkan,  ”Aku hanya ingin mengatakan beliau dan seharusnya beliau dapat mendengar melalui bagian yang berbeda. Kakang Lembu Sora dan Gajah Biru sudah lama meninggal dunia. Aku tidak ingin meminta Sri Jayanegara menghidupkan mereka kembali. Aku hanya ingin menjelaskan bagaimana persoalan sebenarnya agar tidak ada orang yang akan saling menyalahkan di kemudian hari. Apakah kau bersedia menyampaikan padanya tentang yang aku katakan tadi?” “Saya akan mencobanya, Senapati,” kata Pelayan Dalam membungkuk hormat. Ki Nagapati diam beberapa saat lamanya, agaknya ia sedang mempertimbangkan pilihan : memaksa diri menemui Sri Jayanegara atau kembali ke barak prajurit. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, ”Baiklah. Aku akan kembali ke barak. Dan mungkin kedatanganku yang terakhir kalinya di tempat ini. Katakan juga kepadanya mungkin beberapa pekan ke depan ini ia sudah tidak lagi menjadi seorang raja!” Ia berbalik arah dan melangkah lebar meninggalkan halaman istana. Pelayan Dalam itu mengerti arah perkataan Ki Nagapati karena berita tentang pasukan sehamparan tebasan parang memang sudah terdengar luas. Lalu ia memutar tubuhnya dan kembali masuk ke ruang tengah.   Hari demi hari menapak pasti meninggalkan masa kelam dan kebahagiaan yang pernah dilalui. Pergolakan yang tidak terlihat di permukaan kini mulai mengarahkan taringnya ke kotaraja. Segelintir orang mulai memainkan keadaan yang meremang. Tetapi masih sedikit orang yang berani memanjangkan tangannya untuk menepuk air secara langsung dalam suasana remang. Kademangan Wringin Anom adalah permulaan untuk mengukur kekuatan yang sebenarnya dari tangan hitam yang menutup langit kotaraja.   Rencana besar telah diawali oleh Patraman yang tidak kuasa menahan gejolak untuk membawa dirinya menjadi lebih tinggi. Pada malam yang sama dengan Gajah Mada yang menguasai kembali Kahuripan. Patraman berkata di hadapan Gumilang, “Kewibawaan hanya dirasakan oleh orang yang mengalami masa itu, sedangkan kewibawaan sendiri adalah sesuatu yang hanya dirasakan orang lain. Bukan oleh pelakunya sendiri. “Kewibawaan berbeda dengan kekuatan. “Berbeda pula dengan kebahagiaan. Dan bagiku kebahagiaan adalah jika berhasil membawa Arum Sari. Pahami itu Gumilang!” derai tawa Patraman terdengar menyayat hati. Hal itu dirasakan oleh Arum Sari yang mendengar jelas percakapan kedua lelaki yang tengah berkelahi. Kata-kata itu terus bergema di dalam telinganya hingga ia merasakan bahwa hidupnya sebentar lagi akan mengalami kehancuran. “Gila! Benar-benar gila!” Arum Sari menghentak-hentak kakinya. Ungkapan  Patraman merupakan luapan kegelisahan hatinya. Betapa ia telah membayangkan hukuman yang akan diterima dari Majapahit. Ia membayangkan tubuhnya telah tergantung di utara alun-alun ibukota. Terbayang pula wajah ayah dan ibunya yang tidak akan mampu mengangkat kepala. Kedua orang tuanya akan berjalan dengan kepala tunduk begitu malu dan mungkin juga terhina. Namun Patraman sudah berkeras hati bahwa ia sendang meniti jalan yang terpilih baginya. Ia membuang semua bayangan yang menyentuh hatinya.

Baca Juga :

“Ini adalah benih keyakinan tentang arti kebahagiaan.” Kata-kata itu berulang seperti mantra puja pada dewa-dewa. Seolah menjadi kalimat suci yang terus menggaung di dalam rongga dadanya. Sebentar kemudian keduanya kembali melibat diri dalam pertarungan yang mendebarkan. Kedua pedang saling mematuk dan bergulung-gulung seperti angin prahara. Beberapa waktu telah berlalu tetapi keduanya masih dalam keadaan seimbang. Patraman telah mengenal sedikit dari dasar gerakan Gumilang dan begitu pula sebaliknya. Keduanya telah saling mengenali dasar gerakan masing-masing. Dan di antara mereka ada perbedaan yang lebar dan memengaruhi pertarungan dua pemuda yang keras hati ini. Patraman merasa mampu memenangkan perang tanding ini karena merasa lebih pantas mendapat jabatan lebih tinggi dari pemimpin prajurit kademangan, lebih dari itu, wajah Arum Sari telah menutup segala jalan akal sehatnya. Di pihak yang berseberangan, Gumilang berpikir bahwa ia harus dapat mengalahkan Patraman dalam keadaan hidup atau mati. Menurutnya, hanya dengan begitu maka akar permasalahan yang timbul di Wringin Anom dapat diselesaikan. Wringin Anom, bagi Gumilang, bukan sekedar kademangan atau padukuhan besar, tetapi juga menyimpan ancaman yang sewaktu-waktu bisa saja membakar seluruh wilayah di sekitar Brantas.  Sekalipun Ki Demang sama sekali tidak menunjukkan sebagai orang yang haus kekuasaan, tetapi kehadiran Patraman ibarat api dalam sekam. Rencana memang tak selamanya dapat berjalan sesuai harapan. Angan-angan Patraman harus menghadapi kenyataan bahwa ia akan mendapat rintangan yang cukup berat. Patraman menduga Ki Cendhala Geni memang bekerja untuknya dan akan membawa kemenangan baginya, tetapi sepanjang waktu yang tersedia bagi mereka, Ken Banawa mampu mengimbangi kekuatan Ki Cendhala Geni. Dan tentu saja Ki Cendhala Geni tidak mempunyai cara berpikir yang pendek seperti yang diduga Patraman. Kemudian terjadi benturan, lalu dua perwira muda itu terlempar surut. Sejenak kemudian, mereka kembali berhadapan dengan awal gerak yang sangat garang. Menggeser selangkah ke belakang dengan lengan kanan tegak lurus sambil menjulurkan pedang, siku kiri Gumilang berada lekat di punggung tangan dengan gagang menempel erat di dagunya. Pandang tajam Gumilang menatap seperti mata elang yang mengincar monyet yang berloncatan di antara ranting pohon. Sedangkan Patraman mengangkat kedua lengannya seperti kepak garuda. Kedua lutut yang ditekuk dan tubuh yang direndahkan ini menunjukkan pertahanan tangguh, tetapi dapat berubah secepat kilat menjadi serangan maut. Keduanya tidak bergerak. Tidak ada perubahan yang terjadi meski pergeseran sejengkal langkah. Udara keluar masuk, mereka mendesah dengan dada surut mengembang. Tubuh mereka menggigil seperti punggung gunung yang diguncang gempa. Arum Sari menatap keduanya dengan napas yang seolah tertahan. Ia larut dalam suasana mencekam ketika dua perwira muda Majapahit itu beradu pandang!

Baca Juga :

Seperti ada aba-aba yang menggerakkan, dalam waktu hampir bersamaan, keduanya saling menerjang. Langkah kecil Gumilang sangat cepat menghampiri Patraman yang, dengan sekali lompat, sigap menyambut serangan Gumilang. Hantaman keras kedua senjata tidak dapat dihindarkan. Patraman merasakan sakit merambati pangkal bahunya. Sekejap ia termangu heran dengan kekuatan Gumilang. Nyaris saja kepalanya terpisah dari badan bila ujung matanya tidak menangkap desir pedang Gumilang. Ia melenting ke belakang untuk sedikit mengambil jarak dan dengan sepenuh tenaga menerjang Gumilang. Keduanya menjauh, lalu terlibat lagi dalam pertarungan yang meningkat semakin sengit. Pedang Patraman meliuk-liuk menebas ke arah Gumilang. Menerima terjangan sengit seperti topan prahara, Gumilang segera membuat perisai dengan memutar pedang dan menjulurkan belatinya untuk mematuk setiap bagian tubuh Patraman. Patraman telah kehilangan jalan selamat dari hukuman yang akan menimpanya, tetapi menyimpan harapan bahwa Laksa Jaya mampu membawa pergi Arum Sari selagi ia dan pengikutnya menahan sergapan prajurit Majapahit. Di sela perkelahiannya menghadapi Gumilang, Patraman sesekali meneriakkan perintah pada pengikutnya agar mampu bertahan dari serbuan lascar Majapahit yang terus berkisar seperti cakra. Dalam waktu itu, perhatian Patraman terbagi karena keinginan yang tidak tertahan. Arum Sari dan kedudukan membuatnya begitu lemah untuk menjaga keseimbangan perkelahian, maka Gumilang leluasa menekan lawannya dengan serangan yang bersusulan. Sama sekali tidak ada ketimpangan dalam serangan gencar dan garang dari Gumilang. Ia mampu menutup celah yang muncul dari setiap perkembangan unsur geraknya. Kemampuannya meningkat pesat dalam bimbingan Ken Banawa dan gurunya, Ki Dipa Balawan, yang masih sering dikunjunginya. Setiap kali ia mendatangi tempat gurunya, orang dapat menilai perhatian besar anak muda ini pada keadaan seseorang yang berjasa besar bagi dirinya. Meski Patraman belum menemukan titik lemah senapati muda Majapahit, tetapi ia bukanlah anak muda yang baru saja mampu berkelahi, Patraman sudah banyak terjun langsung dalam perkelahian seorang demi seorang maupun sebagai prajurit Majapahit. Dengan nyeri yang masih tertinggal di dalam bahu kanannya, tubuhnya membumbung, melesat lurus ke depan dengan satu sabetan mengarah pada wajah Gumilang! (bersambung)

Sumber: