Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (3)

Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (3)

Kawanan yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Ubandhana ini sebenarnya cukup lama melakukan kejahatan di pedukuhan sekitar wilayah Sumur Welut. Tetapi sejak kematian Mantri Rukmasara maka persediaan mereka menjadi semakin sedikit. Mpu Nambi dengan sigap dan pemikiran matang secara pasti mampu mengurangi ruang gerak gerombolan Ubandhana. Walau Pang Randu memberi kebebasan hukuman bagi mereka namun mereka tidak lagi leluasa sebagaimana sebelumnya. Kedekatan kelompoknya dengan Pang Randu tidak mengubah kegeraman Ubandhana. Pada kesempatan yang berbeda, di depan Pang Randu, ia pernah mengatakan bahwa Sumur Welut akan menjadi ladang api.  Walau pun ia berucapa seperti itu, Pang Randu paham bahwa Ubandhana hanya bagian kecil dari kawanan tikus tanah. Ubandhana yang sudah mengetahui pergerakan pasukan kecil itu memang mempersiapkan rencana khusus untuk menyambut mereka. Ia memerintahkan anggotanya untuk bersembunyi di balik semak-semak yang rimbun atau di dahan-dahan pohon. Namun ia terkejut karena sebelumnya mengira bahwa Ki Guritna akan menghadapi para penyamun yang ada di belakang mereka, tetapi ternyata perwira ini tetap memerintahkan maju dan meninggalkan penyamun yang menyergap mereka dari arah belakang. Kejutan berikutnya yang diterima Ubandhana adalah perintah membakar perkampungan yang telah dibangun untuk dijadikan sarang. “Benar-benar prajurit gila! Bukannya berbalik badan berhadapan dengan anak buahku tapi justru meluruk maju dan membakar semuanya!” geram Ubandhana penuh amarah. “Aku lipat gandakan bagian kalian! Habisi lalu keringkan darah para prajurit itu!” perintah Ubandhana sambil memutar-mutarkan tombak. Sorak sorai anak buah Ubandhana membahana memecahkan malam yang sunyi. Tombak yang berputar sangat cepat itu segera menghantam prajurit yang berada di dekatnya. Gulungan sinar yang berasal dari tombak begitu mengerikan dan menggetarkan setiap mata yang melihatnya. Ki Guritna dilibat kemarahan luar biasa. Ia gusar dengan kebocoran rencananya. Sedikit orang yang ia ajak bicara termasuk Ranggawesi, namun ia tidak yakin jika Ranggawesi menjadi orang yang menusuknya dari belakang. “Siapakah orang dari prajuritku  yang membeberkan penyergapan ini?” Ia mengamuk dan memutarkan gada dengan seluruh kekuatan. Gada Ki Guritna menghantam setiap penyamun laksana beliung menerbangkan daun kering. Berkelebat satu sosok di antara kobaran api mendekati Ki Guritna. Lurah prajurit kini menghadapi lawan yang sangat tangguh. Ubandhana dengan ganas mengayunkan tombak yang ujungnya melengkung seperti bulan sabit ke arah Ki Guritna. Dalam beberapa gebrakan, gada Ki Guritna  terkurung tombak Ubandhana. Beberapa kali kulit Ki Guritna tersayat gerigi tajam ujung tombak Ubandhana. Dalam waktu yang tidak lama, prajurit-prajurit ini mulai kewalahan menghadapi serangan para penyamun. Jumlah yang kalah banyak dan mereka pun belum bergabung satu sama lain makin membuat mereka terdesak oleh serangan penyamun yang ganas dan liar. Para penyamun seperti burung pemakan bangkai yang mencabik mangsanya. Mereka mengeroyok setiap prajurit dengan  keji dan menghunjamkan senjatanya sekalipun lawannya sudah mati tak berdaya. Bondan terlihat sibuk memberi pertolongan bagi para prajurit yang terluka. Tubuhnya lincah melesat kesana kemari menggotong prajurit yang mengalami luka-luka ke tepi perkampungan. Suatu ketika ia berusaha mendekati Ranggawesi yang kewalahan membendung serangan para penyamun. Tubuh Ranggawesi bermandikan darah karena sabetan golok dan pedang para penyamun. Bondan membuka jalan darah dengan mengambil pedang prajurit yang sudah roboh tak bernyawa. Pedang yang digenggamnya seperti kilat yang menyambar tiap penyamun yang menghalanginya. Pedang yang terhunus itu seperti serigala yang ingin menghisap darah setiap penyamun yang mengepungnya. Beberapa orang dari kawanan penyamun yang berada Iantara Bondan dan Ranggawesi pun satu persatu roboh oleh tebasan pedang Bondan. Ranggawesi yang telah terhuyung dan bersimbah darah tampak kesulitan menghindari sebatang tombak yang meluncur deras ke arahnya. Tombak itu tepat menghunjam dada Ranggawesi. Bondan yang sedang bertarung di belakangnya pun segera menoleh karena teriakan terakhir Ranggawesi. Seorang yang lanjut usia namun masih gagah telah berdiri angkuh menginjak kepala Ranggawesi. Dada Bondan bergemuruh karena amarah. Sebuah penghinaan besar telah dilakukan di depannya, betapa dengan bengis dan biadab seseorang telah menginjak kepala seorang pemimpin prajurit yang telah tewas. Pedang pun dilontarkan ke arah orang tua itu dan Bondan melesat cepat di belakang pedang sambil melepas ikat kepala. Kaki orang tua yang berada di atas kepala Ranggawesi pun terpaksa berputar untuk menangkis lemparan pedang dari Bondan. Tangan kiri orang tua itu menyambut serangan Bondan. Udeng Bondan beradu dengan telapak orang tua itu dan menimbulkan suara keras. Bondan merasakan denyut di pembuluh darahnya. Benturan itu memberi tahu Bondan tentang kemampuan lawan yang dihadapinya. “Gandrik! Sebut namamu, Setan Cilik!” perintah orang tua itu pada Bondan. “Apa urusanmu, Setan Besar?” Bondan balik bertanya sambil melanjutkan serangan dengan bertubi-tubi dan sama sekali tidak memberi kesempatan pada orang tua itu untuk membalas. “Kurang ajar! Apakah engkau benar-benar bosan hidup?” Orang tua bertubuh besar membentak Bondan.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
“Bukan aku sudah bosan hidup tetapi engkau tak akan pernah tahu bagaimana setan menghadapi kematian. Diamlah dan kita bicara dengan senjata,” desis Bondan. “Jangan pernah menyesal dengan pertemuan ini. Sebagai bekal kematian, ketahuilah namaku Ki Cendhala Geni. Dan sekarang, matilah!” Rangkai kata berhamburan keluar dari bibir orang yang mengenalkan diri sebagai Ki Cendhala Geni. Tetapi ia salah tujuan jika ia bermaksud untuk menggertak Bondan. Bondan adalah seorang lelaki muda yang belum banyak berkelana dari laga ke laga pertarungan. Bahkan kehidupannya di Pajang cukup jauh dari kegaduhan. Maka, nama itu hanyalah sebuah nama yang tidak memberi kesan khusus pada hati murid Resi Gajahyana. Seketika ia mengakhiri perkenalannya dengan  teriakan keras yang menyertai serangannya dengan garang. Pada awal benturan, Bondan dengan tangkas mengimbangi serangan dengan mengerahkan kecepatan yang ia miliki. Sesekali ia membalas serangan lawannya yang sebenarnya datang cukup deras. Namun lambat laun Bondan meningkatkan lapisan ilmu yang ia miliki untuk memberi tekanan pada musuhnya. Pada waktu itu, Ki Cendhala Geni cukup terkejut dengan ketinggian ilmu yang melekat dalam diri musuhnya yang berusia muda. Tak cukup dengan menghindari serangan demi serangan dari Bondan, lawannya lantas mencabut senjata berupa kapak panjang. Pertarungan kedua nya kemudian berlangsung lebih sengit dan mematikan. Keduanya seperti mempunyai keinginan yang sama yaitu, melumpuhkan musuh lebih cepat. Tak pelak, baik Bondan  maupun Ki Cendhala Geni berulang kali saling membenturkan ilmu mereka dengan keras, lebih keras dan makin keras! [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Bab 3" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="116367, 116785, 116785" displayby="recent_posts" orderby="rand"] Seperti dua ekor ular yang terkadang berusaha saling mematuk lalu menjauhkan kepala dari patukan lawan, maka seperti itulah yang terjadi dalam lingkar perkelahian Bondan. Mereka bertarung cukup dekat, lalu secara bersamaan mereka meloncat surut dan membuat pengamatan sesaat. Pertarungan yang dapat menjadi gambaran ketinggian ilmu mereka yang dahsyat. Berulang-ulang ikat kepala Bondan mematuk dengan hentakan yang disertai ledakan-ledakan dahsyat. Suara dari ledakan itu sendiri tak ubahnya telah menjadi tusukan yang menusuk bagian dalam kepala lawannya. Namun Ki Cendhala Geni mempunyai daya tahan yang sangat kuat sehingga gelegar di dalam rongga telinganya tidak cukup membawa pengaruh baginya. (bersambung)        

Sumber: