P2TSIS Tolak Retribusi Pemakaian Kekayaan Negara

P2TSIS Tolak Retribusi Pemakaian Kekayaan Negara

Surabaya, memorandum.co.id - Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS) menolak pajak ganda PBB dan retribusi IPT (Izin Pemakaian Tanah) dalam Perda nomor 2 tahun 2013, lantaran dirasa tidak adil dan memberatkan perekonomian rakyat penghuni surat ijo di Surabaya, Jumat (29/1/2021). "Kami menolak perda tersebut karena setelah kita cermati, tarif retribusi lebih besar dibandingkan PBB dengan peningkatan mencapai 100 sampai 200 persen. Itu sangat membebani para penghuni surat ijo," tegas Ketua Hatian P2TSIS Bambang Sudibyo. Menurut pihaknya, retribusi IPT digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha dan bukan untuk perumahan. Berdasarkan hal itu, retribusi IPT pada kelompok perumahan melanggar ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebelumnya, dalam pembahasan pada rapat dengar pendapat di DPRD Kota Surabaya, Kamis (14/1/2021) antara Panitia Khusus dengan P2TSIS tidak ada kesepakatan yang menjadi titik temu dan solusi konkret atas permasalahan retribusi IPT. Bambang mempersoalkan sikap eksekutif (Pemkot) dan legislatif (DPRD) yang tidak mempersoalkan hak kepemilikan tanah. Padahal, baginya retribusi tidak bisa lepas dari hal kepemilikan. "Pansus akan mengarahkan ke pengadilan bila warga surat ijo masih mempersoalkan kepemilikan tanah. Menurut kami pengadilan bukan jaln satu-satunya untuk menyelesaikan masalah surat ijo ini," ungkap Bambang. Ia menjelaskan, bahwa masalah surat ijo bersumber dari SK Kementerian ATR/BPN tentang HPL (Hak Pengelolaan) Kotamadya Surabaya. Pemegang HPL harus memenuhi kewajiban yang menjadi persyaratannya, bila kewajiban tersebut tidak terpenuhi maka HPL dapat dicabut oleh Menteri. "Jadi, selain pengadilan masih terbuka lebar jalan lain. Saya kira sebagai wakil rakyat, DPRD harusnya membantu rakyatnya yang memperjuangkan hak-haknya. Saya berharap Pansus dan DPRD mau mendengarkan masalah rakyat yang diwakilinya," terang Bambang. Sekretaris Umum P2TSIS Tuk Hartantiyo mengatakan, bahwa perjuangan warga surat ijo sudah berjalan bertahun-tahun mulai dari diskusi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPRD Provinsi Jawa Timur, hingga kementerian terkait. Namun, hingga kini masih belum ada solusi atas persoalan warga. Saat rapat dengar pendapat dengan DPRD Provinsi Jatim, Hartantiyo mengaku sudah ada inventarisasi oleh Pemprov Jatim atas tanah yang merupakan aset pemkot dan tanah negara. Dari hasil inventarisasi tersebut, tanah yang ditempati warga P2TSIS bukan aset pemkot. "Itulah mengapa kami tidak setuju jika lahan tersebut dikategorikan sebagai aset daerah. Ini sudah melanggar ketentuan aturan yang berlaku. Jadi, dengan tegas kami menolak retribusi IPT yang sudah berjalan puluhan tahun ini," jelasnya. Sementara itu, Supadi PTSI Bratang Gede 6F nomor 20 mengaku kecewa dengan Pemkot Surabaya karena memperlakukan warganya sebagai penyewa tanah negara. Setelah mengikuti pemutihan oleh Pemkot pada tahun 1985 mengira akan mendapatkan SHM (Sertifikat Hak Milik), nyatanya surat ijo atau IPT yang diterbitkan. "SK Walikota Madya Surabaya tahun 1990 tertulis bahwa tanah itu adalah sebagian dari tanah negara yang dikuasai Pemkot," beber Supadi. Karena rasa khawatir dan menanggung beban yang berat karena harus membayar PBB dan Retribusi IPT, pada tahun 2017 Supadi mengirim surat ke Presiden RI Joko Widodo. "Menyampaikan ke Presiden bahwa Pemkot Surabaya memberlakukan warganya sebagai penyewa tanah negara, padahal tanah tersebut sudah ditempati sejak lama," tulisnya dalam surat tersebut. "Sebagai bentuk perjuangan saya, mulai 2001 saya sudah tidak bersedia membayar retribusi IPT," pungkas Supadi. (mg-1/fer)

Sumber: